[tie_list type=”minus”]Ketika Balerina Kelas Dunia Juliet Burnett Berbagi Ilmu di Tepian Ciliwung[/tie_list]
Mengajar para bocah kampung di tepian Ciliwung adalah panggilan hati Juliet Burnett. Kelak dia ingin menghabiskan masa tua di Indonesia.
MOCHAMAD SALSABYL ADN, Jakarta
DI seberang sungai, traktor-traktor mulai menguruk dengan tanah. Rumah-rumah telah dirobohkan. Kampung Pulo lenyap dari pemandangan, dari sejarah.
Tapi, Juliet Burnett yang hanya terpisah aliran Sungai Ciliwung tak sedikit pun merasa terganggu. Apalagi, di hadapannya, ada 12 bocah perempuan yang dengan antusias menunggu untuk diajari balet.
”Ayo, kaki bagus,” katanya, memberikan instruksi dalam sebuah kesempatan. Di lain kesempatan, perempuan 31 tahun itu memerintahkan, ”Ya, sekarang kaki nakal.”
Kaki bagus adalah istilah balet saat sikap telapak kaki hingga jemari menutup seperti menujuk. Sedangkan kaki nakal adalah sikap sebaliknya.”Bisa?” tanya Juliet setiap selesai mengajarkan sebuah gerakan.
Di Sanggar Ciliwung Merdeka yang terletak di perkampungan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu siang akhir bulan lalu (29/8) itu, Juliet tengah mewujudkan salah satu impiannya. Impian yang dia rajut setelah memutuskan keluar dari kelompok balet terkemuka, The Australian Ballet, pada 12 Juni lalu: berkontribusi kepada Indonesia, negeri yang menawan sebagian hatinya.
Ibunda Juliet, Widyas Burnett, adalah perempuan asal Solo yang menikah dengan pria Australia, Kyle Burnett. Widyas adalah adik kandung sastrawan besar Indonesia, W.S. Rendra.
Juliet sangat dekat dengan sang paman yang biasa disapanya Om Willy itu. Penyair berjuluk Si Burung Merak yang meninggal pada 6 Agustus 2009 tersebut mengajarkan banyak hal yang terkait dengan seni kepada Juliet. Termasuk prinsip bahwa seniman harus selalu mengabarkan suara rakyat.
Prinsip itulah yang akhirnya membawa istri musisi rock Nick Thayer itu ke kampung langganan banjir di tepian Ciliwung tersebut. Bagi dia, mengajar anak-anak yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan balet itu bak mimpi yang terwujud. Panggilan hati. Secuil kontribusi yang bisa dia berikan untuk tanah air keduanya.
”Paling tidak, anak-anak bisa tersenyum sejenak di tengah kekhawatiran penggusuran kampung di sekitar Ciliwung. Siapa tahu, dari kelas ini, tercipta pebalet hebat di masa depan,” ujar dia.