Bangga Bisa Berjalan di Red Carpet

[tie_list type=”minus”]Eksperimen Sinema Jawa ala Sutradara Termuda Festival Film Berlin Wregas Bhanuteja[/tie_list]

Budaya Jawa yang menjadi benang merah karya-karyanya merupakan bagian dari upaya Wregas Bhanuteja agar film Indonesia punya identitas. Lembusura, karya yang membawanya ke Berlin dan Hongkong, hanya berbiaya Rp 30 ribu.

LUSIA ARUMINGTYAS, Jakarta

DURASINYA hanya 10 menit. Tapi, kesan yang dihadirkan Lembusura masih menancap benar di benak Riri Riza. Sutradara papan atas Indonesia itu menyebut film pendek karya Wregas Bhanuteja yang sudah ditontonnya lebih dari setahun silam tersebut memiliki kelebihan dalam kekuatan budaya yang jelas dan kental.

Wregas Bhanuteja
Wregas Bhanuteja for Jawa Pos

SINEAS POTENSIAL: Wregas Bhanuteja (dua dari kanan) saat menghadiri Festival Film Berlin.

’’Sangat menarik, segar, dan memiliki tema, gagasan, serta latar belakang yang lengkap. Lembusura mampu menyerap fenomena budaya di sekitarnya,’’ ujar sutradara yang namanya mulai dikenal lewat film Kuldesak (1998) itu.

Bukan Riri seorang yang terkesan. Lembusura juga telah mengantarkan Wregas ke perhelatan bergengsi: Festival Film Internasional Berlin.

Di luar Academy Awards, festival tersebut termasuk tiga besar paling prestisius di dunia selain Festival Cannes dan Venice.

Otomatis, tidak gampang untuk bisa menembusnya. Lembusura menjadi satu di antara 443 film dari 75 negara yang terpilih berkompetisi dalam festival yang rutin dihelat sejak 1951 tersebut. Istimewanya lagi, Wregas, yang baru berusia 22 tahun, tercatat sebagai sutradara termuda yang karyanya ditarungkan dalam ajang yang berlangsung Februari lalu tersebut.

Dua bulan berselang, Lembusura juga diundang untuk berkompetisi di Hongkong International Film Festival. ’’Dulu saya pernah bermimpi, kapan ya bisa berjalan di red carpet sebuah festival terkenal? Apa harus menunggu sampai berumur 40-an tahun? Eh, tahunya bisa tercapai dalam usia 22 tahun,’’ ungkap Wregas.

Dan, impian itu terwujud lewat sebuah film yang lahir dari spontanitas dan hanya menghabiskan biaya Rp 30 ribu. Uang sejumlah itu digunakan untuk biaya topeng yang dibuat Wulang Sunu yang kemudian dikenakan Yohanes Budyambara.

Tinggalkan Balasan