Guru SD Bergelar Master dan Doktor

Menurut Rijal, sebelum sekolah itu dibangun, anak-anak TKI harus belajar di ruangan seadanya. Mereka belajar di ruang aula kantor konjen yang disekat-sekat dengan papan. Karena itu, proses belajar-mengajar tidak efektif. Jumlah murid pun belum banyak. Baru setelah ruang-ruang kelas dari kontainer itu didirikan, jumlah anak yang bisa mengenyam pendidikan di ICC mencapai 100 orang.

Hanya, tidak mudah untuk mendapatkan murid. Rijal bersama staf konjen mesti blusukan ke tempat-tempat tinggal para TKI. Tujuannya, mendapatkan anak-anak yang mau bersekolah. Bahkan, tidak hanya di Johor Bahru, tapi juga ke wilayah Melaka, Pahang, dan Negeri Sembilan.

’’Kami datangi dan rayu-rayu supaya mau. Bahkan, kami jemput ke rumahnya kalau mau sekolah,’’ katanya.

Rijal mengungkapkan, sebagian besar murid sekolah rintisan adalah anak TKI yang bekerja di ladang kelapa sawit dan konstruksi serta pembantu rumah tangga (PRT). Di antara anak-anak itu, ada yang datang menyusul atau dibawa orang tuanya dengan visa kunjungan wisata. Atau masuk melalui jalur perbatasan secara ilegal.

Selain itu, ada anak-anak TKI yang lahir di tanah jiran karena perkawinan antar sesama TKI. Padahal, peraturan keimigrasian Malaysia melarang para TKI nonprofesional untuk menikah, membawa keluarga, atau bahkan melahirkan anak di Malaysia. Namun, faktanya, banyak juga yang tetap nekat.

’’Kondisi itulah yang sejak setahun terakhir ini menjadi tantangan saya. Apa pun kondisinya, mereka adalah generasi Indonesia, anak-anak bangsa,’’ tegas Rijal.

Jumlah siswa yang makin banyak, lanjut Rijal, ternyata juga membawa kendala tersendiri. Sebab, jumlah tenaga pengajarnya terbatas. Untung, banyak mahasiswa pascasarjana asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Malaysia yang mau membantu. Mereka bersedia menjadi guru bagi anak-anak tersebut. Tentu saja, mereka juga mendapat tunjangan walaupun tidak banyak.

”Jadi, guru SD di sini itu bergelar master dan doktor, lho,” tambahnya. Rijal menambahkan, ikhtiar untuk membesarkan sekolah bagi anak-anak Indonesia di perantauan itu mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Belum lama ini pihaknya mendapatkan bantuan anggaran sekitar Rp 2 miliar. Dana itulah yang dimanfaatkan untuk membangun ruang-ruang kelas tersebut. Pihaknya pun berharap pemerintah mau mengirimkan tenaga pengajar. ’’Insya Allah tahun ini bisa terwujud,’’ harapnya.

Tinggalkan Balasan