Menilik Efektivitas Program Rebo Nyunda

Dia tidak menepis, bila mata pelajaran bahasa Sunda yang masuk ke dalam muatan lokal belum dapat menerap ke anak didik. Hal itu dikarenakan, dalam keseharian mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan, pelajaran bahasa Sunda hanya dua jam tiap minggunya. ’’Yang penting bukan keterampilan berbahasanya, tapi nilai kesundaannya. Karena di nilai Kesundaan ada nilai kesopanan di masyarakat,’’ sahut Elih.

Elih mengklaim, bila para siswa menanggapi positif pelajaran bahasa Sunda, bahkan lebih memilih Rebo Nyunda dibanding Kamis English. Hanya saja, karena tidak tampak di permukaan, baik dari obrolan di media sosial maupun keseharian, bahasa Sunda dianggap tenggelam. Disinggung adanya guru yang tidak fasih berbahasa Sunda, padahal yang bersangkutan mengajar mata pelajaran itu, Elih memiliki jawaban. ’’Kalau guru tidak boleh mengajar kalau tidak sesuai bidangnya. Kalau guru bahasa Sunda harus bisa berbahasa Sunda. Cuma ya itu, karena ruang dunia yang semakin luas, jadi guru juga kagok,’’ paparnya.

Soal busana adat Pasundan yang belum terlalu diterapkan, utamanya di SMP juga SMA, Elih tidak memungkiri hal itu. Pasalnya, di usia-usia remaja, para siswa memiliki pilihan sendiri. Berbeda dengan anak usia dini yang masih menurut ke orangtuanya. ’’Kalau SD semarak, apalagi ibu-ibunya masih seneng ngedandanin. Untuk siswa SMA juga ditekankan, tapi seperti biasa sudah punya pilihan. Tapi, kita tetap lakukan edaran ke sekolah dan memberi teguran ke kepala sekolah,’’ imbuhnya.

Menambah bobot untuk mata pelajaran bahasa Sunda, Elih menukas tidak mungkin dilakukan. Maka itu, untuk memperkuat budaya Sunda di kalangan remaja, pihaknya mengadakan serangkaian kegiatan melalui ekstrakulikuler dan perlombaan bernafaskan Sunda.

Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandung Herry Djauhari menambahkan, pihaknya juga telah mengedarkan surat ke perusahaan-perusahaan swasta terkait penggunakan busana adat tiap hari Rabu. ’’Untuk beberapa perusahaan sudah mulai menggunakan, khususnya yang bergerak di usaha kecil dan menengah,’’ jelasnya.

Bagi perusahaan besar, Herry mengaku, masih banyak yang belum menerapkan program yang digulirkan sejak akhir 2013 itu. Menurut Herry, perusahaan besar beralasan ada suatu pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk mengenakan pakaian adat Sunda. ’’Kita tidak bisa memaksakan, hanya sekedar mengimbau dan memberikan edaran,’’ kilahnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan