Lion Air Gawat

Sebelumnya, Lion juga mencatatkan pembelian terbesar bagi produsen pesawat asal AS, Boeing, pada November 2011. Maskapai yang kini juga buka cabang di Malaysia dan Thailand itu memesan 230 pesawat Boeing senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp 195 triliun pada kurs masih di kisaran Rp 9.500 per USD.

Gerry mengatakan, pembelian pesawat tidak bisa dilakukan lindung nilai (hedging fund), sehingga tidak bisa menghindari rugi kurs. Yang bisa dilakukan dengan menggunakan jasa leasing hanya untuk Down Payment (DP)-nya saja. Dengan asumsi pesanan pada kurs Rp 10.000 per USD saja, sementara saat ini kurs Rp mencapai 12.800 per USD, maka kerugian yang diderita Lion pada pesanan Boeing sebesar 61,6 triliun dan kerugian kurs pada pesanan Airbus sekitar Rp 67,2 triliun.

’’Tapi menurut saya kerugian kurs akibat pesanan pesawat itu belum besar dirasakan saat ini karena selain bertahap kan juga ada mekanisme tersendiri. Nanti begitu pesawat datang, dibayar, dijual lagi ke perusahaan rental, lalu disewa lagi. Mekanismenya sudah benar kecuali kondisi keuangannya memang sedang tidak baik,’’ ulasnya.

Yang justru membebani Lion Air saat ini, kata Gerry, justru dari banyaknya pesawat yang ada. Biaya perawatan besar terlebih perawatan juga sangat tergantung nilai tukar Rupiah dan yang terbang belum tentu untung.

Lion memang memiliki opsi untuk menjual sejumlah pesawat yang dianggap tidak efisien selain juga untuk mengurangi beban. Namun, kata Gerry, persoalan saat ini harga jual pesawat bekas sedang turun. ’’Jadi kalau mereka jual sekarang, rugi juga. Situasi mereka sekarang memang seperti terjebak dalam persoalan serius. Cukup berat,’’ tegasnya.

Bukti bahwa Lion memang sedang terjerat permasalahan keuangan adalah dari kewajiban pengembalian uang tiket (refund) dan kompensasi delay yang sampai harus meminjam PT Angkasa Pura (AP) II senilai Rp 4 miliar. ’’Itu kenapa kok harus sampai ditalangi dulu? Mereka bilang sekitar Rp 3 miliar sampai Rp 4 miliar tapi hitungan saya uang kompensasi dan delay dari sejak Rabu sampai sekarang (kemarin) itu bisa sampai Rp 6 miliar,’’ yakinnya.

Gerry mengatakan, jadwal penerbangan memang bisa dikembalikan normal asalkan seluruh maskapai dan pilot bertugas beroperasi lagi dan mereset waktu dengan membatalkan penerbangan kemarin dan dinormalkan hari ini. ’’Skala delay dan pembatalannya agak mengerikan. Tapi persoalan seriusnya justru ada di internal perusahaan sendiri,’’ imbuhnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan