JABAR EKSPRES – Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah kota di Indonesia, termasuk Bandung, dilanda gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat.
Kondisi ini tidak hanya memengaruhi aspek sosial dan keamanan, tetapi juga mulai berdampak langsung pada dunia pendidikan, terutama dalam hal konsentrasi belajar siswa dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah.
Beberapa sekolah mulai mengambil langkah preventif dengan mengalihkan pembelajaran tatap muka menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) demi menjaga keamanan peserta didik. Namun, para akademisi mengingatkan bahwa solusi tersebut harus dibarengi dengan upaya menjaga kualitas dan efektivitas proses pembelajaran. Jika tidak, risiko terjadinya learning loss atau penurunan capaian belajar bisa semakin besar.
Baca Juga:Permudah Akses Masyarakat, BSI Agen Siap Layani Pendaftaran BPJS KetenagakerjaanNarasi Berbeda di UNISBA: Presma Kecam Represif Aparat, Rektor Klaim Gas Air Mata Tak Sasar Kampus
Direktur PT Martasandy Bimbel Terpadu sekaligus akademisi pendidikan, Billy Martasandy Ph.D menyampaikan bahwa meskipun langkah PJJ dapat menjadi jalan keluar jangka pendek, efektivitas pembelajaran tidak boleh dikorbankan.
“Adanya kegiatan demo saat proses KBM cukup dikhawatirkan akan berpengaruh kepada konsentrasi belajar siswa. Suasana kelas bisa jadi tidak kondusif, anak-anak merasa cemas, atau bahkan lebih fokus pada isu demo dibanding materi yang sedang dipelajari,” ujarnya.
Menurutnya, anak-anak sangat peka terhadap perubahan situasi di lingkungan sekitar mereka. Ketika suasana sosial memanas, baik karena suara sirene, kerumunan massa, atau pemberitaan media, perhatian siswa bisa dengan mudah teralihkan. Terlebih lagi, jika demonstrasi berlangsung dekat dengan lokasi sekolah atau rumah mereka.
“Penerapan PJJ bisa menjadi opsi, namun tetap harus diimbangi dengan upaya menjaga keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Tidak semua siswa memiliki kondisi belajar yang ideal di rumah. Ada yang menghadapi keterbatasan perangkat, koneksi internet, atau bahkan dukungan dari lingkungan keluarga,” tambahnya.
Ia juga menyoroti bahwa selama pandemi COVID-19, Indonesia sudah cukup lama menjalani sistem pembelajaran jarak jauh dan hasilnya menunjukkan adanya ketimpangan pembelajaran, terutama di kalangan siswa dari keluarga kurang mampu.
Karena itu, pengalaman masa lalu harus menjadi pelajaran agar sistem PJJ yang diberlakukan kembali secara darurat kali ini tidak mengulangi kesalahan yang sama.
