JABAR EKSPRES – “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Begitulah konsep demokrasi yang paling populer dan sering kita dengar. Sebagai negara demokrasi, Indonesia tentu harus memiliki lembaga perwakilan rakyat. Dengan jumlah penduduk yang mencapai ratusan juta, dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi sekaligus penyambung aspirasi rakyat.
Secara konseptual, DPR hadir untuk mewakili rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Bersama Presiden, DPR memiliki kewenangan membentuk serta merancang undang-undang, sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan lembaga eksekutif.
Namun, dalam perjalanannya, tidak sedikit kebijakan, sikap, maupun perilaku anggota DPR yang menimbulkan kekecewaan publik. Banyak masyarakat merasa jengkel, marah, bahkan geleng-geleng kepala.
Baca Juga:5 Kota di Indonesia yang Paling Aman dari Gempa dan TsunamiPerhitungan Standar Hidup Layak di Jakarta, Cukupkah Gaji Rp10 Juta?
Sebagai contoh, dalam sebuah rapat paripurna, tercatat hanya 30 anggota DPR yang hadir. Artinya, ada sekitar 530 anggota lainnya yang tidak menghadiri rapat tersebut. Maka, tidak mengherankan jika slogan “Bubarkan DPR” sering menggema dalam aksi demonstrasi maupun coretan di dinding jalanan.
Rasa muak dan keresahan masyarakat terhadap perilaku sebagian anggota DPR membuat desakan pembubaran lembaga ini kerap mencuat. Lantas, pertanyaannya, apakah DPR bisa dibubarkan? Bagaimana mekanismenya?
Upaya Pembubaran DPR dalam Sejarah
1. Dekrit Presiden 1959 oleh Soekarno
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante.
Alasan utama pembubaran ini adalah kinerja yang buruk dan kegagalan Dewan Konstituante dalam merumuskan Undang-Undang Dasar baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950.
Dewan Konstituante sendiri dibentuk melalui Pemilu 1955 dengan tugas merancang konstitusi baru. Namun, sejak awal persidangan pada 1956 hingga 1959, lembaga ini tidak kunjung mencapai kesepakatan. Akhirnya, Dekrit Presiden 1959 dikeluarkan, yang sekaligus menandai berakhirnya era demokrasi liberal/parlementer di Indonesia dan dimulainya masa demokrasi terpimpin.
2. Dekrit Presiden 2001 oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga sempat mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi:
- Pembekuan DPR dan MPR,
- Pengembalian kedaulatan kepada rakyat,
- Serta pembekuan Partai Golkar.
Gus Dur dikenal sebagai presiden yang sering melontarkan kritik pedas kepada DPR melalui guyonan dan sindiran tajamnya. Namun, beberapa kebijakan kontroversial seperti kasus Buloggate dan Bruneigate, ditambah lemahnya dukungan politik serta manuver lawan-lawan politiknya, membuat posisinya semakin terpojok.
