JABAR EKSPRES – Kota Bandung, yang dahulu dijuluki Paris van Java, kini kian identik dengan kemacetan. Data terakhir dari TomTom Traffic Index 2024 menempatkan Bandung sebagai kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia, mengalahkan Jakarta.
Rata-rata waktu tempuh perjalanan dalam kota meningkat hingga 49 persen lebih lama dibandingkan situasi normal. Artinya, jika biasanya jarak 10 kilometer ditempuh dalam 20 menit, kini dibutuhkan lebih dari 30 menit dan bisa jauh lebih lama saat akhir pekan atau musim liburan.
Sumber utama kemacetan Bandung berasal dari pertumbuhan kendaraan bermotor yang tidak seimbang dengan kapasitas jalan. Sebelumnya, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan membeberkan data bahwa saat ini terdapat lebih dari 1,5 juta kendaraan bermotor di wilayah kota, hampir satu banding satu dengan jumlah penduduk Kota Bandung.
Baca Juga:Diduga Terlibat kasus Video Syur, Lisa Mariana Dilaporkan ke Polda JabarIni Rincian Realisasi APBD Jabar Menurut Data Kemenkeu
“Ini seperti menuangkan air satu ember ke dalam gelas kecil. Sistem jalan di Bandung tidak sanggup menampung ledakan kendaraan,” kata Pengamat Tata Kota, Yudi Asep, kepada Jabarekspres Kamis (10/7).
Disisi lain, upaya Pemkot Bandung menghadirkan transportasi publik belum mampu menjadi solusi signifikan. Layanan Trans Metro Bandung (TMB) dan angkot yang diharapkan menjadi tulang punggung transportasi kota masih menghadapi banyak kendala, antara lain jumlah armada terbatas, rute belum menyeluruh, dan waktu tunggu yang panjang.
“Masih lebih nyaman naik motor. Kalau nunggu bus bisa setengah jam lebih, belum tentu dapat tempat duduk,” keluh Rina (34), warga Cicaheum.
Padahal, menurut rencana tata transportasi jangka panjang, Bandung semestinya sudah mulai menerapkan sistem angkutan massal berbasis koridor dan park and ride sejak lima tahun lalu. Proyek BRT (Bus Rapid Transit) yang sempat digadang-gadang pun belum menunjukkan perkembangan signifikan.
Masalah kemacetan juga diperparah oleh tata ruang yang tidak merata. Sebagian besar aktivitas ekonomi, perkantoran, pendidikan, hingga hiburan terpusat di area utara dan tengah kota seperti Dago, Cihampelas, dan Buahbatu. Akibatnya, arus kendaraan dari wilayah pinggiran setiap pagi dan sore menumpuk ke titik-titik sentral.
“Bandung belum punya konsep kota multipusat. Semua terpusat di tengah kota. Ini bikin lalu lintas kolaps setiap hari,” ungkap Yudi.
