JABAR EKSPRES – Pemerintah Kota Cimahi menargetkan wilayah Cirendeu sebagai kawasan konservasi budaya dan lingkungan yang terintegrasi dengan pengembangan wisata berbasis kearifan lokal.
Isu pelestarian nilai-nilai adat dan potensi ekowisata diangkat sebagai solusi berkelanjutan di tengah tantangan urbanisasi dan degradasi lingkungan.
“Dari sebelum kami dilantik, kami pernah mencanangkan bahwa Cirendeu ini ke depan harus menjadi pusat konservasi adat budaya dan lingkungan,” kata Wali Kota Cimahi, Adhitia Yudhistira, usai membuka kegiatan pembinaan Keluarga Masyarakat Hukum Adat (KMHA) tingkat Kota Cimahi 2025 di Cirendeu, Cimahi Selatan, Jumat (20/6/2025).
Baca Juga:Absen Rapat Paripurna, Sekda Jabar: Saya Dikirim Gubernur ke Lokasi Bencana!Usai Kongres SEMMI, Rizky Siap Jadi Garda Terdepan Kawal Amanah Organisasi
Adhitia menilai keberadaan masyarakat adat di Cirendeu merupakan aset strategis yang menyimpan nilai budaya sekaligus potensi ekowisata.
Tradisi pengolahan singkong menjadi makanan pokok seperti beras singkong (rasi), hingga produk olahan seperti seroja, mustopa, egg roll, dan cheese stick kini mulai dikembangkan dalam bentuk usaha mikro kecil menengah (UMKM).
“Ini menarik karena ini adalah aset pemerintah Kota Cimahi, aset warga Kota Cimahi juga. Dan harus di-rebranding, ya harus dibawa ke masyarakat luar,” ujarnya.
Namun yang paling krusial, menurutnya, adalah pelestarian nilai hukum adat yang tetap relevan di era modern. Adhitia menyebut hukum adat sebagai akar dari sistem hukum, yang justru sangat relevan dalam merespons isu-isu lingkungan global saat ini.
“Ibarat sebuah pohon, hukum adat ini adalah akarnya. Kalau mengikuti perkembangan zaman tanpa mengedepankan hukum adat, gampang robohnya, nggak kuat juga. Bahkan di berbagai negara, ketika ada masalah lingkungan, hukum adat digunakan untuk menyelesaikannya,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa Cirendeu pernah menjadi lokasi tragedi kemanusiaan dan bencana lingkungan besar, yaitu longsornya TPA Leuwigajah pada 2005 yang menjadi salah satu bencana lingkungan terbesar kedua di dunia setelah Filipina.
Dari peristiwa tersebut, ia mengusulkan pentingnya melakukan ‘pertobatan ekologi’ yang dipimpin oleh pemerintah.
“Pertobatan ekologi ini harus dimotori oleh pemerintah dulu,” tegasnya.
Baca Juga:HEBOH! DPRD Jabar Ramai-ramai Kunker ke Bali, Tujuannya Bikin Geleng Kepala!Geruduk BPN Kota Bandung, Warga Sukahaji Tuntut ke Kantor Pertanahan
“Kebetulan kami punya lahan di sini sekitar 11 hektare. Kalau itu digunakan sebagai garapan awal konservasi budaya adat dan lingkungan, hasilnya akan sangat baik,” sambungnya.
