JABAR EKSPRES – Sejak awal 2025 angka pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin melonjak, seruan boikot terhadap produk-produk yang diduga terafiliasi Israel yang masih berlanjut menimbulkan tekanan ganda bagi dunia usaha nasional dan rantai pokonya.
Kondisi tersebut menciptakan dilemma serius bagi stabilitas ketenagakerjaan dan ekonomi negara.
Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukan bahwa jumlah tenaga kerja yang terkena PHK, naik tujuh kali lipat dari 3.325 orang pada Januari menjadi 24.083 orang per April 2025.
Baca Juga:PINTU Raih Penghargaan Kepatuhan Hukum di Indonesia Regulatory Compliance Awards 2025 136 Titik Kumpul Sampah di Kota Bandung Telah Terangkut, Pemkot: Bakal Dimusnahkan Mesin Insinerator
“Dari perspektif ketenagakerjaan sendiri kita terus berupaya menjembatani hal ini, namun tentu tidak mudah,” kata Anwar.
Menurut Anwar, pemerintah saat ini tengah melakukan komunikasi lintas pihak untuk mendapatkan masukan dalam merumuskan mitigasi terkait persoalan tersebut, yang tidak hanya adil namun juga tepat sasaran.
Sementara, berdasarkan data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dalam kurun waktu Januari hingga Februari 2025 ada 60.000 buruh dan 50 perusahaan mengalami PHK.
Adanya gelombang PHK besar-besaran ini, KSPI mendesak Kemnaker agar segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK untuk menangani persoalan secara menyeluruh.
Selain itu, pemerintah juga akan menentukan indikator untuk mengukur efektivitas pelaksanaan tugas, termasuk penguatan system deteksi dini potensi PHK, pemenuhan hak pekerja, serta memastikan pekerja bisa Kembali mendapatkan pekerjaannya.
Anwar menambahkan, Kemnaker akan terus berupaya untuk memfasilitasi reintegrasi pekerja dengan menyediakan informasi peluang kerja dan pelatihan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.