JABAR EKSPRES – Penambang timah yang memberikan kesaksian dalam perkara dugaan korupsi timah, Liu Asak alias Acau. Mengaku mendapat penghasilan hingga Rp500 juta salam sebulan, dari hasil penjualan timah ilegal.
“Sebesar Rp150 ribu per kilo dikali bisa 100 kg, jadi Rp15 juta per hari. Sebesar Rp0,5 miliar per bulan,” ujar Acau di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (10/9).
Menurutnya, pendapatan tersebut dipengaruhi faktor cuaca dan luas lahan tambang yang digarap.
Selain itu, Acau mengaku bahwa para penambang liar itu menjual hasil tambangnya ke PT Timah.
BACA JUGA:Mochtar Riza Pahlevi Didakwa Akomodasi Penambangan Timah Ilegal
Sementara itu, kata Acau, mekanisme bekerja dengan PT Timah dimulai dengan pengajuan pembuatan surat perintah kerja (SPK) dari PT Timah.
Setelah SPK keluar dari PT Timah, Acau kemudian membawa mesin tambangnya ke wilayah PT Timah dan mulai menambang. “Hasil tambangnya saya jual ke PT Timah juga,” ucapnya.
Selain itu, dia juga mengaku kerap menjual hasil timah kepada pembeli liar, di luar PT Timah. Dan tidak melalui prosedur sebagaimana menjual ke PT Timah.
“Pembeli liar itu banyak sekali. Soalnya kalau kami ngirim ke PT Timah mesti ada prosedur,” ujarnya.
BACA JUGA:SPT Menangis Saat Ditetapkan sebagai Tersangka Baru di Kasus Dugaan Korupsi Timah
Diketahui bahwa, Acau bersksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah, di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah sepanjang tahun 2015-2922.
Kasus mega korupsi itu menyeret tiga perwakilan PT RBT sebagai terdakwa, yakni Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT, Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Ardiansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun dari kasus korupsi yang merugikan keuangan negara Rp300 triliun itu.
BACA JUGA:3 Mantan Kadis ESDM Didakwa Korupsi Timah, Rugikan Negara hingga Rp300 Triliun