Hukum sebagai Panglima bukan Kekuasaan

Oleh: Abdy Yuhana

Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Alumni GMNI

BARU saja kita memperingati hari konstitusi pada tanggal 18 agustus 2024 yang mengingatkan kepada seluruh warga bangsa  bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem demokrasi konstitusional yang dimaknai penyelenggaraan negara harus dilandaskan pada konstitusi sebagai implementasi dari konsepsi negara hukum bukan negara kekuasaan.

Cabang kekuasaan negara yang diberikan kewenangan secara atributif untuk tetap menempatkan Indonesia sebagai negara hukum dalam kontek konstitusionalisme adalah Mahkamah Konstitusi yang kemudian disebut sebagai lembaga negara pengawal dan penjaga konstitusi. dus,  jelas bahwa keberadaan lebaga negara Mahkanah Konstitusi hadir untuk meluruskan agar penyelenggaraan negara di Indonesia tetap ada pada ‘rel’ demokrasi konstitusional. Sehingga jika ada Undang- Undang yang tidak berkesusaian, bertentangan  dengan UUD 1945 (baca konstitusi) harus dikembalikan agar tidak keluar dari domain konstitusional.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengijkat tidak lain tujuannya adalah  mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan  menjamin kepastian hukum.  Dalam kontek Eksistensi Mahkamah Konstitusi yang dibentuk sebagai jawaban atas praktik kesewenang-wenangan terhadap konstitusi yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia tidak ada.satupun lembaga negara ataupun pihak yang memiliki kedudukan hukum mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi apalagi ‘melawannya’ hal tersebut demi menjaga marwah lembaga Mahkamah Konstitusi dan indonesia sebagai negara hukum meskipun dalam putusam tentang syarat calon Presiden menimbulkan polemik, tapi sekali lagi semua pihak mematuhinya.

Hal berbeda ketika Mahkamah Konstitusi memutus dua  perkara konstitusi yaitu  nomor 60/PUU-XX Ii/2024 dan nomor 70/ PUU-XII/2024  tanggal 20 Agustus tentang Undang-undang pemilihan kepala daerah karena putusannya dianggap tidak ‘menguntungkan’ salah satu pihak dan tidak nyaman dengan putusan tersebut muncul inkonsistensi.dengan adanya gejala penyimpangan terhadap negara demokrasi konstitusional dengan memperlihatkan arogansi kekuasan yang secara terbuka menggunakan cabang kekuasaan lain yaitu Pemerintah  dan  DPR untuk mengabaikan dari dua  putusan Mahkamah konstitusi tersebut. Apa.yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah secara.prosedural patut dipertanyakan.

Secara kilat ‘tangan kekuasan’ melalui lembaga-lambaga negara menggunakan kewenangannya untuk membahas dan mempersoalkan tentang putusan mahamah konstitusi dan sudah bisa dilihat arah dan produknya mempertentangkan dengan dua putusan MK tersebut. Hal tersebut tentunya memancing reaksi publik terutama kalangan intelektual.dan penggiat demokrasi karena sudah keluar dari nalar dan kaidah negara demokrasi konstitusional.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan