JABARESKPRES – Pergerakan partai politik dalam menyongong Pilgub Jabar sepertinya terdengar akan membentuk koalisi.
Padahal jika dicermati tahapan pemilu untuk pendaftaran pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur tinggal menghitung hari.
Akan tetapi, sampai saat ini belum ada satu partai pun yang melakukan komunikasi secara resmi dalam pembentukan koalisi. Bahkan untuk pasangan kandidat yang resmi terbentuk-pun belum ada.
Menanggapi fenomena ini, Guru Besar sekaligus Pengamat Politik Unpad Prof. Muradi menilai, untuk Pilgub Jabar sepertinya partai-partai sedang menerapkan strategi kehati-hatian.
‘’Partai politik lebih bersikap pragmatis. Artinya ada pertimbangan idiologis dalam menentukan kandidat yang akan diusung nanti,’’ ujar Muradi ketika dihubungi oleh Jabareskpres, Kamis, (01/08/2024).
Muradi menilai, sejumlah faktor yang menyebabkan koalisi belum terbetul di antaranya, adalah membangun koalisi ditingkat daerah sebetulnya sedang berproses.
Banyak partai politik yang baru melakukan berbagai macam komunikasi dengan tujuan untuk menjajaki kerja sama. Namun belum sampai pada kesepakatan.
Selain itu, faktor lain belum terbentuknya kolaisi adalah sikap dari Ridwan Kamil yang mbelum memberikan keputusan. Apakah akan maju di Pilgub Jakarta atau DKI.
Langkah politik dari Ridwan Kamil banyak ditunggu oleh partai lain. Sebab, jika mantan Gubenur Jawa Barat itu maju lagi di Pilgub Jabar maka, bisa dipastikan banyak partai yang bergabung.
Belum ada kepastian dari Ridwan Kamil ini membuat partai politik tengah menganalisa agar tidak salah langkah dalam mengambil keputusan.
Ridwan Kamil memiliki skor popularitas dan elektabilitas paling tinggi di Jawa Barat. Potensi menangnya tinggi.
“Nah mereka (partai politik, red) cenderung melihat potensi menang dalam pembentukan koalisi,” tandasnya.
Faktor lain yang berpengaruh terbentuknya koalisi adalah mengenai pramatisme pemilih. Menurut Muradi, partai politik cendurung menganalisa berdasarkan pengalaman pemilihan presiden (Pilpres).
‘’Jadi pada kenyataannya pilihan politik masyarakat belum sepenuhnya rasional atau ideologis,’’ ujar Muradi.
Muradi menuturkan, dalam menentukan pilihan, biasanya pilihan publik bisa berubah. Sehingga partai politik masih bisa dibeli. Namun tidak harus money politik, bisa sembako misalnya.
‘’Jadi partai lebih memilih menunggu saja,” imbuhnya.