Mengupas Alih Fungsi Lahan KBU yang Tak Kunjung Tuntas tapi Meluas

JABAR EKSPRES – Alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) jadi masalah klasik yang nampaknya sulit terpecahkan. Lahan-lahan hijau yang berubah jadi hutan beton tidak makin berkurang tapi justru bertambah. Butuh komitmen kuat dan peningkatan pengawasan dari pusat hingga daerah untuk menjaga KBU.

KBU sebenarnya sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis di wilayah Jabar. Penetapan KBU sebagai kawasan strategis itu tertuang dalam Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian KBU sebagai Kawasan Strategis Jabar. Di Pasal 8, KBU meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Batas utara dan timur dibatasi punggung topografi menghubungkan puncak Gunung Burangrang, Gunung Masigit, Gunung Gedongan, Gunung Sunda, Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Manglayang. Sedang di sebelah barat dan selatasan dibatasi garis kontur 750 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Sayangnya, banyak lahan di KBU telah beralih fungsi. Setidaknya ada sekitar 20-25 hektar lahan telah mengalami perubahan fungsi dalam kurun waktu 10 tahun. Itu berdasarkan data pantauan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar. “Data saintifik memang belum ada, tapi kami mengamati dari pendekatan citra satelit,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jabar Wahyudin, Selasa (27/02).

Pria yang akrab dipanggil Iwang itu tentu menyayangkan kondisi tersebut. KBU mestinya dijaga karena banyak menjadi andalan untuk daerah resapan air. Jika dirusak atau berubah tentu akan berdampak negatif. Peristiwa banjir yang melanda kawasan Braga Kota Bandung tentu jadi pelajaran.

Iwang menjabarkan, alih fungsi lahan itu beragam. Lahan yang awalnya kawasan hijau atau banyak tumbuhan kini berganti dengan hutan beton. Beberapa perubahan lain adalah dalam bentuk lahan hortikultura atau sayuran.

“Hutan beton itu seperti perumahan, hotel, vila. Pemanfaatan lahan untuk sayuran perlu ada pembinaan juga agar tidak memperburuk lingkungan. Misalnya perlunya terasering,” jelasnya.

Menurut Iwang, hancurnya KBU itu karena kurangnya komitmen pemerintah dalam menjaga kawasan tersebut. Secara regulasi memang sudah ada, tapi pada prakteknya masih banyak pelanggaran. “Perizinan pembangunan perumahan atau kawasan lainnya juga terus terbit mestinya bisa ditahan, lalu penertiban izin itu juga kurang berjalan,” ucapnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan