JABAR EKSPRES – Saat ini sedang ramai masa kampanye, dan seperti sudah menjadi tradisi, dimana untuk menarik suara dari masyarakat para Caleg kerap kali membagi-bagikan uang. Lalu apa hukum menerima uang kampanye dari para caleg ataupun Capres ini?
Meski sudah dilarang menerapkan money politik dalam pemilu, namun masih saja banyak yang melanggarnya, dan tetap menerima uang kampanye dengan berbagai cara terselubung.
Uang yang diberikan oleh caleg kepada masyarakat, tujuannya untuk menggiring masyarakat mendukung mereka, tanpa melihat apakah caleg yang akan diberikan suaranya memiliki karakter baik atau buruk.
Baca juga : KPU RI Rilis Dana Kampanye Capres-Cawapres, Capai Puluhan Miliar?
Hal inilah yang menjadi pertimbangan pelarangan menerima uang kampanye, karena bila orang yang dipilih tidak amanah maka penerima uangnya juga termasuk membela kebatilan.
Hal ini disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits selaku Pembina KonsultasiSyariah, yang menyebutkan bahwa hal tersebut semakna dengan risywah (suap).
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan:
الرشوة ما يعطى لإبطال حق، أو لإحقاق باطل
Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan (oleh seseorang) untuk menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 24/256).
Sementara Ibnu Abidin menjelaskan:
الرشوة: ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد
Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau yang lainnya, agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan. (Hasyiyah Ibn Abidin, 5/502)
Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya menjelaskan keterangan Ibn Abidin di atas,
“Dari apa yang disampaikan Ibn Abidin, jelaslah bahwa suap bentuknya lebih umum, tidak hanya berupa harta atau jasa tertentu, untuk mempengaruhi hakim agar memutuskan sesuai keinginannya. Sementara yang menjadi sasaran suap adalah semua orang yang diharapkan bisa membantu kepentingan penyuap. Baik kepala pemerintahan, maupun para pegawainya. Maksud Ibn Abidin: “agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan” adalah mewujudkan apa yang menjadi tujuan dan keinginan penyuap. Baik dengan alasan yang benar maupun salah.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 23/223 – 224)