oleh: Hj. Siti Muntamah Oded, S.AP*
ADA ketersediaan atau stok semangat untuk berjuang pada seorang anggun, sabar, dan tangguh, bernama Ibu. Ada ketergerakan emosi untuk turut memberi andil pada dunia, dengan bukti bahwa seorang Ibu pun bisa berjuang
Dan jika awal mula memaknai Hari Ibu itu untuk mengenang istimewanya seorang Ibu, maka takarannya bisa jadi cukup subjektif alias hanya untuk mengukur kesibukan seorang Ibu di ranah domestik alias mengurus “perintilan” kerumahtanggan, mulai dari urusan dapur, sumur, dan kasur. Namun kemuliaan tidak hanya ditakar dari peran di ranah tersebut, melainkan dari kiprah lainnya yang kemudian disebut dengan “denyut perubahan”.
Perubahan sebesar dan sepenting apa sebetulnya yang telah dikhidmatkan oleh seorang Ibu untuk ketahanan keluarga dan ketahanan negara?
Perubahan sosial, perubahan pendidikan, perubahan kebijakan, perubahan kesadaran, perubahan perilaku, dan lain-lain.
Tentang perubahan sosial. Jika hanya kaum laki-laki yang dianggap lebih tepat menempati amanah publik, berada di gedung parlemen, berada lingkungan sosial lebih luas, maka para Ibu pun memiliki modalitas untuk menempati ruang-ruang yang dimaksud.
Tentang pendidikan. Jika hanya seorang Bapa atau seorang suami yang dianggap lebih tepat mengampu jenjang pendidikan yang lebih tinggi bahwan studi sampai ke lintas negara atau benua. Maka logikanya adalah bahwa keluhungan dan kecerdasan itu tidak membatasi gender. Artinya, Ibu-ibu bisa mengubah dirinya sendiri dan lingkungan sekitar dengan pendidikan.
Tentang perubahan kebijakan. Adanya kaum Ibu dalam percaturan sosial, menjadi sebuah sudut pandang tersendiri. Andil sudut seorang Ibu yang bisa jadi tidak menjadi sudut pandang seorang Bapak, pada akhirnya menjadi gagasan dan kemaslahatan. Sebagai contoh, adanya ruang-ruang IMD (Imunisasi Menyusui Dini) di rumah sakit-rumah sakit, adalah bagian dari gagasan atau inisiatif yang keluar dari kaum Ibu yang secara kontekstual telah dialami dan dirasakan. Termasuk dipisahnya toilet antara peruntukan laki-laki dan perempuan, itu juga bersumber atau bermula dari rasa ketidaknyamanan perempuan atas privasinya. Bisa dibayangkan ketika seorang perempuan (bukan hanya perempuan muslim), akan merasa risih dan kaku manakala berada di sebuah toilet dan tempat wudhu yang peruntukannya disatukan dengan laki-laki. Tentu tak nyaman.