JABAR EKSPRES – Masih terdapat sejumlah pelanggaran dalam penempatan Alat Peraga Kampanye (APK) di beberapa lokasi terlarang. Dalam periode kampanye ini, perhatian publik meningkat terkait pemahaman peserta pemilu dalam meletakkan APK.
Arlan Siddha, seorang Pengamat Politik dan Pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), ia menyoroti sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu terkait dengan penempatan Alat Peraga Kampanye (APK) yang masih bertentangan dengan aturan.
Menurutnya, dalam konteks pelanggaran pemilu, terdapat beberapa aspek yang perlu dipahami. Hal ini juga berkaitan dengan calon legislatif yang masih cenderung menggunakan cara instan dalam kampanye.
“Sebenarnya dalam konteks pelanggaran pemilu 2024 itu ada beberapa hal yang harus kita pahami,” ucapnya saat dihubungi melalui seluler, Rabu, 13 Desember 2023.
Arlan mengatakan ada dua hal yang perlu dipahami dalam kampanye, yang pertama adalah terkait dengan kampanye, tentunya kalau berbicara kampanye, secara subtansi kampanye itu bagaimana kemudian para calon legislatif, memberikan pandangan atau memberikan ide gagasan pada masyarakat.
BACA JUGA: Kembali Gelar DigiFest 2023, Pemkot Cimahi Dorong Generasi Muda Hadapi Tantangan Teknologi
“Ini hal yang menjadi penting, yang kedua adalah banyak sekali calon legislatif dalam memberikan pengaruh atau menarik suara masyarakat dengan cara-cara yang instan atau justru cara ini adalah melanggar ketetapan,” paparnya.
Menurutnya, merujuk pada Undang-Undang Pemilu, terdapat peraturan yang melarang praktek pembelian suara dengan metode instan. Seperti yang sering terjadi pelanggaran di lapangan.
“Kalau kita melihat dari undang-undang pemilu dimana tidak boleh ada pembelian suara, seperti tadi temuan di lapangan ini masih bisa terjadi. Sebenarnya bukan kemudian persoalan ini selesai tapi, persoalan ini akan semakin membesar kalau kemudian tidak ada tindakan yang tegas dari pengawas pemilu atau Panwaslu,” jelas Arlan.
Arlan menuturkan, hal-hal kecil seperti ini seharusnya sudah dapat diantisipasi atau bahkan dihentikan oleh Panwaslu agar tidak berkembang menjadi masalah yang lebih besar atau lebih meluas.
“Hal-hal tersebut sebenarnya memang terjadi banyak di beberapa kota besar, terutamanya di wilayah-wilayah pemenangan yang tentunya sangat rawan akan praktek-praktek politik tadi,” terang Arlan.