Ketum LDII Ingatkan Risiko Besar Gunakan Politik Identitas dalam Pemilu

JABAR EKSPRES – Akar sejarah politik identitas adalah gerakan moral dan perjuangan kelas, untuk melepaskan diri dari penindasan dan kesewenang-wenangan.

Gerakan politik identitas dipakai orang-orang kulit hitam melawan diskriminasi warga kulit putih.

Pada abad 21, Pemilu di Indonesia, Amerika, Belanda, dan Italia menunjukkan batasan mengenai komunikasi politik populis dan politik identitas menjadi kabur.

”Keduanya digunakan untuk memburukkan pihak lain, juga untuk membuat batasan antara kawan dan lawan,” tutur Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat ditemui di kantor DPW LDII Papua Barat usai acara Musyawarah Wilayah IV LDII Papua Barat, pada Selasa (26/9).

Menurutnya, Pemilu lalu, para elit politik menggunakan politik identitas untuk menandai atau melabel pihak lain. Bukan untuk membangkitkan semangat membangun bangsa dan negara, sebagaimana lahirnya teori politik identitas.

”Dari penggunaan politik identitas yang negatif itu, melahirkan komunikasi politik populis,” ujarnya.

Dia menjelaskan, komunikasi politik populis adalah bentuk komunikasi yang menyalahkan pihak lain, atas kegagalan negeri ini.

”Bentuknya terlihat, kelompok-kelompok agama menyalahkan para nasionalis jauh dari Tuhan, sehingga negara menjadi gagal. Sementara kelompok nasionalis mengatakan kegagalan bangsa akibat pola pikir konservatif para pemuka agama,” tuturnya.

Di Italia, Jerman, dan Belanda menurut KH Chriswanto, para elit politik sayap kanan menuding penyebab sempitnya lapangan kerja dan penurunan ekonomi dialamatkan kepada para imigran Timur Tengah.

”Sama halnya saat Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Trump, menuding imigran Meksiko mengambil alih lapangan kerja warga,” bebernya.

Politik identitas dan komunikasi politik populis, menurutnya, terbukti mampu memikat pemilih juga membangkitkan fanatisme. Namun ada risiko yang lebih besar.

”Keutuhan, persatuan, dan kesatuan bangsa menjadi taruhan,” tegas KH Chriswanto.

Cita-cita luhur berdirinya negara dan bangsa Indonesia jadi pertaruhan hanya karena Pemilu lima tahun sekali.

Ia pun mengingatkan para elit politik agar bersikap dewasa, dengan tidak membawa gaya kampanye politik identitas dalam menghadapi Pemilu 2024.

”Saya minta seluruh elit politik supaya lebih dewasa, dalam mensikapi, tidak termakan pola-pola komunikasi politik populis dan praktik politik identitas yang berakibat timbulnya perpecahan,” kata Chriswanto.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan