Ini Isi UU Kesehatan yang Banyak Diprotes Nakes

JABAR EKSPRES – DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-undang (UU) pada Selasa (11/7), meski masih ada isi RUU yang diprotes oleh para tenaga kesehatan.

Beberapa isi UU Kesehatan dinilai merugikan bagi tenaga kesehatan (nakes), sehingga mereka tidak menginginkan Undang-undang tersebut terlalu cepat di sahkan, karena harus dikaji ulang.

Isi UU Kesehatan yang menuai protes dan masih pro kontra di kalangan para nakes tersebut setidaknya ada empat hal, yakni menyangkut prosedur ijin praktek, rasio keberadaan dokter spesialis, alokasi anggaran dan juga kemudahan untuk tenaga kesehatan asing yang akan buka praktek di Indonesia.

Salah satu yang dikeluhkan oleh Ikatan Dokter Indonesia adalah perihal tidak diperlukannya lagi rekomendasi dari IDI untuk seorang dokter yang akan membuka Praktik. Hal ini diibaratkan dengan mencabut keberadaan peran organisasi profesi dalam hal pemenuhan persyaratan praktik tenaga kesehatan.

Untuk lebih jelasnya, berikut isi RUU Kesehatan 2023 yang masih belum disepakati oleh para tenaga kesehatan:

1. Pembuatan Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup

UU kesehatan yang baru mengubah beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bagi seorang dokter yang akan membuka praktek. Yakni harus memiliki SIP (Surat Izin Praktik).

Persyaratan pembuatan SIP sendiri juga ada beberapa poin yang dirubah, salah satunya harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Dimana kini pembuatan STR hanya cukup sekali karena masa berlakunya untuk semumur hidup.

“Untuk mendapatkan SIP (Surat Izin Praktik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat 2, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi,” isi pasal 235 Ayat 1 UU Kesehatan.

Baca juga : Kontroversi RUU Kesehatan 2023, Berikut isinya

2. Rasio Dokter Spesialis di Indonesia

Rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,12 per 1.000 penduduk, data ini menunjukkan rendahnya rasio di Indonesia jika dibandingkan dengan median Asia Tenggara, yakni 0,20 per 1.000 penduduk.

Hal ini diduga karena adanya dominasi dari organisasi kesehatan yang mempersulit pengurusan ijin praktik karena mahalnya biaya yang diperlukan. Sehingga keberadaan dokter spesialis tidak bisa berkembang dan rasionya tetap dibawah standar.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan