Antisipasi Kecurangan Pemilu 2024, Bawaslu Minta MUI Sosialisasikan Fatwa Haram Politik Uang

JABAR EKSPRES – Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu RI) Rahmat Bagja menyoroti soal fatwa haram pemanfaatan politik uang yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Menurut Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja fatwa haram pemanfaatan politik uang memang sudah dibuat oleh MUI.

Namun, kata Ketua Bawaslu Rahmat Bagja fatwa haram pemanfaatan politik uang belum disosialisasikan secara masif oleh MUI terlebih menjelang Pemilu 2024.

BACA JUGA: Sempat Beberkan Pelanggaran, Bawaslu: Potensi Kecurangan di Pemilu 2024 Akan Tetap Ada

Sehingga, ia meminta agar MUI dapat memasifkan sosialisasi fatwa yang menyatakan bahwa pemanfaatan politik uang hukumnya haram.

“Fatwanya sudah ada. Hanya saja, fatwa ini kurang disebarkan di ceramah, di khotbah,” kata Rahmat Bagja, dikutip JabarEkspres.com dari Antara News pada Kamis, 22 Juni 2023.

Menurut keterangan Rahmad Bagja, sosialisasi mengenai fatwa tersebut kepada masyarakat, khususnya umat Islam di Tanah Air merupakan salah satu upaya untuk menekan potensi pemanfaatan politik uang di tengah pelaksanaan Pemilu 2024.

Oleh karena itu, ia pun menyampaikan bahwa pihaknya akan segera berkoordinasi dengan MUI untuk memasifkan sosialisasi terkait dengan fatwa tersebut.

Menanggapi harapan Ketua Bawaslu tersebut, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan pihaknya akan menyosialisasikan kembali fatwa politik uang haram kepada umat Islam di Indonesia.

Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa sosialisasi tentang fatwa itu merupakan wujud tanggung jawab ulama dalam mendukung hadirnya demokrasi yang berkualitas di Tanah Air.

“Fatwa itu ditetapkan sebagai wujud tanggung jawab sosial keulamaan dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas,” kata Niam.

Sebagai informasi, fatwa mengenai politik uang itu ditetapkan berdasarkan Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 Hijriah atau 25–29 Juli 2000.

Hal tersebut ditetapkan seiring pembahasan tentang suap (risywah), korupsi (ghulul), dan hadiah kepada pejabat.

Dalam musyawarah itu, MUI menyampaikan suap, uang pelicin, politik uang, dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan