JAKARTA – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) baru-baru ini telah mengusulkan untuk menghapus fasilitas kamar tipe 1,2,3 yang biasa diberikan sebagai fasilitas BPJS Kesehatan.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mickael Bobby Hoelman mengatakan, fasilitas kamar tersebut akan dihapus dan diseragamkan menjadi kelas rawat inap standar (KRIS).
Untuk mengawali ketentuan ini, pihaknya telah melakukan ujicoba di empat rumah sakit. Di antaranya RSUP Rivai Surakarta, RSUP Abdullah dan RSUP Tadjudin Chalid dan RSUP Leimena.
Mickael mengatakan, dari uji coba itu, pihaknya telah melakukan evaluasi menyeluruh dengan pengeluaran anggaran sebesar Rp 2,6 miliar.
‘’Untuk KRIS ini kita keluarkan anggaran untuk memperbaiki infrastruktur rumah sakit khususnya untuk merubah ruang rawat inap,’’ ujar Mickael dalam keterangannya ketika acara dengar pendapat besarma Komisi IX DPR RI belum lama ini.
Dia menuturkan dalam membuat fasilita KRIS, pihaknya menerapkan 12 kreteria dengan pengeluaran anggaran yang bervariasi berdasarkan tipe rumah sakitnya.
Menurutnya, semakin besar tipe rumah sakit maka anggaran untuk merubah kamar rawat inap menjadi KRIS akan semakin besar.
Mickael memastikan, fasilitas KRIS ini nantinya tidak akan mengurangi dari layanan kesehatan bagi peserta BPJS.
Semenatar itu sebelumnnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti mempertanyakan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengenai rencana perubahan fasilitas rawat inap menjadi KRIS itu.
Menurutnya, DJSN, Kementerian Kesehatan dan Asosiasi Rumah Sakit harus memberikan penjelasan secara detai mengenai 12 kreteria yang diterapkan untuk KRIS.
Dia mempertanyakan, apakah 12 Kriteria itu dititik beratkan pada kondisi sarana prasarana non medis saja atau terdapat fasilitas medis.
Untuk itu, sebagai pelaksana teknis, BPJS Kesehatan mengusulkan dua kreteria tambahan agar dirumuskan ke dalam KRIS yaitu fasilitas obat dan layanan dokter.
‘’Jadi harapan kami, regulator menyediakan regulasi yang matang dan komprehensif melihat dari berbagai aspek, agar pelaksanaan KRIS tidak terganjal regulasi yang belum sempurna,’’ kata Ghufron.
Dia menilai, penerapan KRIS harus dikaji menyeluruh dari berbagai aspek layanan. Jangan sampai aturan baru ini terkesan dipaksakan.
Jika ini diabaikan, maka berdampak terhadap mutu layanan fasilitas kesehatan iu sendiri.