UNTUNG ketika itu Universitas Negeri Malang membuka jurusan animasi. “Saya mahasiswa pertama ketika jurusan itu dibuka,” ujar anak muda yang Anda sudah kenal ini: Bayu Skak.
Saya satu pesawat dengan Bayu Selasa sore kemarin. Lagi sama-sama kesel: pesawat jurusan Juanda-Halim ini delay dua jam. Kami sudah di dalam pesawat. Tapi tidak kunjung ada tanda berangkat.
Akhirnya kami tahu kenapa. “Cuaca di Halim lagi buruk. Jarak pandang terbatas. Kami diminta jangan terbang dulu,” ujar pengumuman dari kapten pilot.
Lega. Hanya perlu menunggu cuaca membaik. Saya pun pindah ke kursi kosong di sebelah Bayu. Bisa buang waktu sambil ngobrol. Sekalian saya bisa menulis tentang anak muda hebat ini. Kebetulan saya dan ia satu ideologi: pro-otonomi dan pro desentralisasi.
Bayu ternyata tipe anak yang teguh: film buatannya harus pakai bahasa Jawa. Krunya pun harus setidaknya 50 persen orang lokal. Pemain filmnya lebih gila lagi: harus 90 persen orang setempat.
Yang dimaksud orang lokal adalah Jatim. Terutama Surabaya. Lebih utama lagi adalah Malang: kota kelahirannya.
Bayu menolak keinginan investor agar yang main film adalah pegiat medsos tertentu. Yakni yang punya follower minimal 10.000. Bayu berprinsip siapa pun bisa jadi pelakon: yang penting kualitas aktingnya.
Berkat keteguhan Bayu itu lahirlah film layar lebar Yowis Ben (Biarin). Full bahasa Jawa. Jawa Timuran. Yang ternyata laris. Sampai ada Yowis Ben 2, Yowis Ben 3, dan Yowis Ben 4.
Bahkan penonton bisa dibilang ketagihan. Maka muncullah film baru yang Anda pasti sudah menontonnya: Lara Ati (baca: loro ati, Sakit Hati).
Bayu sendiri yang menjadi sutradara. Juga penulis skenarionya. Pun bintang film utamanya.
Suatu ketika Bayu datang ke produser. Ia menyodorkan skenario. Begitu dilihat berbahasa Jawa, skenario itu diempaskan: ditolak.
Bayu datang ke PH lain. Nasibnya sama. Sampai 4 PH masih belum juga diterima. Kisah sukses sering diawali dengan penolakan-penolakan seperti itu.
Pun ketika akhirnya ada yang mau menerima. Semata demi nama besar Bayu di YouTube. Syuting pun segera dimulai. Di Malang. Kru dari Jakarta tiba di Malang. Pimpinan produksi itu tiba-tiba mengatakan: “Bayu, saya tidak pede dengan film berbahasa Jawa ini. Ganti saja dengan bahasa Indonesia”.