Kepada Ali Imron, Khusnul bercerita banyak tentang penderitaannyi, nasib anaknyi, dan segala macam kesulitan setelah bom Bali. Ali mau memberi nasihat yang diinginkan. Mereka pun pamitan.
Saat pamit itulah Ali Imron memberi sangu Khusnul. Khusnul kaget. Nilainya Rp 1,5 juta.
“Kok Ali Imron banyak uang ya?” tanya saya.
“Saya juga heran, di penjara kok punya banyak uang,” ujar Khusnul.
Mereka pun pulang ke Surabaya. Tidak naik truk lagi. Mereka punya uang untuk naik kereta.
Uang habis. Juga tidak cukup untuk membayar uang kuliah Sang anak. Pekerjaan juga tidak kunjung didapat. Sang anak sudah hampir dua tahun tidak bisa kuliah. Sang ayah belum menemukan sumber penghasilan yang bisa untuk menyekolahkan anaknya.
Suatu sore rumah kontrakan Khusnul di Sidoarjo digerebek polisi. Sang suami tidak di rumah. Khusnul tidak tahu ke mana suami pergi. Yang jelas, tadi masih salat Jumat. Pulang dari masjid ia pamit pergi.
Rumah Khusnul digeledah. Di lemari ditemukan uang Rp 15 juta. “Uang apa ini?” tanya polisi seperti ditirukan Khusnul pada saya. “Itu uang suami. Baru kemarin didapat. Itu untuk bayar uang kuliah anak kedua kami,” jawab Khusnul.
Penggeledahan diteruskan ke bagian bawah lemari. Ditemukanlah serbuk putih. Beberapa kilogram. Polisi menyitanya.
Bagaimana dengan uang Rp 15 juta itu?
“Kalau uang itu disita, anak saya tidak bisa kuliah,” ujar Khusnul pada polisi. Uang itu pun dikembalikan ke Khusnul. Pesan polisi: agar dipakai bayar kuliah anaknyi.
Khusnul tahu suaminyi tersangkut perkara narkoba. Sang suami sudah bercerita dua hari sebelumnya. Yakni ketika mendapat uang Rp 15 juta itu. Itulah untuk pertama kalinya sang suami pulang membawa uang banyak. Harapannya: anak kesayangannya bisa kuliah lagi.
Malam harinya Pak RT datang ke rumah Khusnul. Pak RT memberitahukan berita duka: Sang suami tewas ditembak polisi. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan pada Tulisan Berjudul: Khusnul Bomiyah
Mirza Mirwan
Beberapa tahun setelah tragedi Bom Bali 1 sineas Nia Dinata mengangkat tragedi itu ke layar lebar dengan judul “Long Road to Heaven”. Nia bersama Constantin Papadimitriou menjadi produser film yang penggarapannya dipercayakan kepada Enison Sinaro sebagai sutradara. Film tersebut dibintangi antara lain Surya Saputra (sebagai Hambali), Sudibyo JS (Amrozi), Hestu Wreda (Ali Imron), dan Endris Sukmana (Mukhlas). Ada juga Alex Komang dan Joshua Pandelaki yang memerankan tokoh yang tak masuk pemberitaan. Komang memerankan Wayan Diya, sedang Joshua memerankan Haji Ismail. Bintang lainnya adalah orang bule, antara lain Mirrah Faulkes dan John O’Hare. Bahasa yang digunakan dalam film itu juga Indonesia dan Inggris. Durasi film itu hampir 2 jam. Dialog Hambali, Amrozi, dkk, mungkin berdasarkan pengakuan dalam sidang pengadilan. Selebihnya berdasarkan kesaksian tokoh nyata seperti dialog antara Hannah Catrele (diperankan Mirrah Faulkes) dengan Haji Ismail (diperankan Joshua Pandelaki). “Kenapa sih orang Islam suka membantai orang-orang non-muslim?” begitu kurang lebih tanya Catrele kepada Haji Ismail. “Jangan digeneralisir, Nona. Apa yang mereka, para teroris, lakukan itu tak dibenarkan menurut ajaran Islam dan Quran.” Sayangnya, seingat saya, film itu kurang laku di Indonesia. Mungkin penonton tidak tahu bahwa itu film tentang Bom Bali. Sebaliknya cukup laku di luar negeri, terutama di Australia. Maklum, dari 200-an korban tewas, 88 orang dari Australia.