“Jadi gagasan memperbaiki itu silakan, tapi harus rakyat yang menyetujui,” tambahnya.
Secara pribadi, dia menilai mekanisme Pilkada saat ini lebih baik. Terlepas banyak dinamika masalah yang terjadi dalam lingkup kepala daerah terjerat kasus korupsi.
“Tapi poinnya tanyakan kepada rakyat. Cara bertanya kepada rakyat adalah cara referendum. Jadi kalau ide itu mau mengemuka, jangan atas keputusan elit tapi keputusan rakyat,” hematnya.
Terpisah, Politisi Partai Demokrat, Dede Yusuf menilai wacana pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD adalah kemunduran Demokrasi.
Pasalnya, pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat merupakan bentuk perjuangan pemerintah sebelum presiden Joko Widodo.
Tujuannya, agar masyarakat dapat berpartisipasi secara langsung dan melakukan hak suaranya sebagai warga negara dalam memilih pemimpinya.
“Wacana dikembalikan kepada DPRD berarti ini adalah sebuah kemunduran Demokrasi. Sebab pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sudah diperjuangkan agar hak rakyat adalah memilih kepala daerahnya,” kata di Bandung.
Anggota DPR RI ini tidak memungkiri biaya pilkada sangat besar, namun, lanjutnya, rakyat juga membayar pajak hampir 2 ribu triliun kepada negara.
“Masyarakat membayar pajak salah satu untuk membiayai pemilihan kepala daerah. maka ini adalah hak rakyat yang tidak boleh diambil kembali,” tandasnya.
Dede Yusuf akan berpendapat di DPR terkait wacana yang dikeluarkan oleh Ketua MPR Bambang Sutanto dan Ketua Wantimpres Wiranto tersebut.
“Kami akan berpendapat, pada intinya kami dari fraksi partai demokrat menolak hal itu, karena ini sebuah kemunduran demokrasi,” tandasnya.
Sebagai informasi, proses Pilkada langsung yang dipilih oleh rakyat telah dilaksanakan di Indonesia sejak 2005 silam di bawah pemerintahan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebelum tahun tersebut, proses pilkada dilakukan secara eksklusif oleh lembaga legislatif daerah atau DPRD.*** (win)