Oleh: Hj. Siti Muntamah Oded, S.Ap*)
Anak dan Ruang Gerak
Dear Ayah Bunda yang semoga Allah senantiasa memuliakan.
Menilik ruang-ruang tak nyaman di sekeliling anak kita. Ruang ancaman, tuang perundungan, ruang kesakithatian. Tentu ini menjadi pemandangan nahas di mana kita tak mungkin cukup dengan diam.
Dikemukakan oleh Sue Dockett&Marilyn Flerr (1999) bahwa bermain merupakan cara alamiah anak untuk menemukan lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri. Dan secara prinsip, bermain mengandung rasa senang dan lebih mementingkan proses dari pada hasil. Hal ini menunjukkan sebuah kebutuhan yang sangat fitrah di mana konteks bermain mampu memasok rasa bahagia pada anak. Bahkan melahirkan “hidup lebih hidup” saat kebutuhan bermain itu terakomodasi. Cukup terang dan jelas terkorelasi dengan apa yang ter-capture dalam konvensi hak anak menurut Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1978.
Salah satu tafakur dari pandangan tersebut adalah bahwa anak memang butuh ruang gerak, baik ruang gerak fisik maupun ruang gerak sosial. Di ruang-ruang tersebut, anak mengekspresikan diri secara fisik dan secara emosi. Maka terang pula, bahwa anak butuh tempat terbuka dan butuh teman.
Anak dan Ruang Sistem
Selanjutnya, banyak ahli mendefinisikan tentang anak. Salah satunya menurut Erick Erikson. Menurutnya, anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti. Ini menunjukkan bahwa anak adalah manusia pembelajar. Selain pembelajar, teori yang satu ini juga menyiratkan bahwa anak adalah makhluk yang secara alamiah mengikuti sistem kehidupan yang berlaku.
Mereka akan berubah dari tidak paham menjadi paham, dari tidak menyadari akan pentingnya sesuatu menjadi sadar dan bersedia menjalankan norma yang berlaku, dan dari tidak berubah menjadi banyak tahu. Tentu saja proses tersebut berlangsung atas didikan orang dewasa. Dan orang dewasa yang paling dekat dengan kehidupannya adalah kita, orang tuanya.
Kita harus percaya, bahwa fitrah mereka adalah hidup dengan cara menaiki tangga-tangga kepahaman. Adapun seberapa besar kepahaman itu mereka dapat, tentu akan sangat ditentukan oleh upaya kita dalam membina dan memahamkannya. Dan sangat tergantung pula pada seberapa banyak pengalaman yang mereka serap. Jika kita hanya diam tanpa mengkominikasikan hal yang baik dan tak baik, mana bagaimana mungkin mereka memahami norma sebagaimana kita pahami. Dan jika kita tak berbuat apa-apa untuk menciptakan pengalaman bagi kehidupan mereka, maka darimanakah mereka mendapat kesan.