LBH Respon PTUN Tolak Gugatan SK DO Mahasiswa Inaba, Siap Maju Banding Ke Jakarta

BANDUNG – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Bandung, memberi respon soal ditolaknya gugatan SK DO dari mahasiswa Universitas Inaba, Muhamad Ari, oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kota Bandung.

Ari menggugat ke PTUN atas keputusan SK DO dari Universitas Inaba. Dia di-DO setelah melakukan protes menuntut kampus mengeluarkan kebijakan tentang keringanan biaya kuliah di masa pandemi.

Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung telah memutuskan untuk menolak gugatan SK DO mahasiswa inaba, Melalui Putusan Nomor 148/G/2021/PTUN.BDG tertanggal 17 Mei 2022.

Merespons hal tersebut, Kepala Divisi Riset dan Kampanye, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono menjelaskan, pihaknya sebagai kuasa hukum sudah mempersiapkan langkah selanjutnya.

“Sama, upaya lanjutannya, kami sudah mengirimkan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta,” tulisnya dalam pesan singkat yang diterima Jabar Ekspres, Rabu (13/7) malam.

Upaya hukum itu bahkan telah dikirimkan per Rabu (13/7) siang tadi. Berbeda dari sebelumnya, kini pihaknya mengincar PTUN Jakarta.

“Upaya hukum banding pun dimaksudkan untuk melihat sejauh mana respon keberpihakan lembaga peradilan pada kasus kebebasan berpendapat dan kritik,” tulis surat resmi LBH Kota Bandung.

Penolakan gugatan oleh PTUN Bandung, lanjutnya, merupakan gambaran sejauh apa itikad negara berniat melindungi kebebasan akademik bagi pelajar.

Yakni untuk menyuarakan pendapatnya dan bisa menjadi sebuah parameter sejauh apa usaha negara dalam melindungi hak kebebasan berpendapat warga negaranya.

Masih dalam keterangan yang sama, pihaknya pun menyayangkan sikap dari internal kampus. “Kondisi diperparah dengan sikap keberpihakan komisi etik di internal kampus sendiri terhadap Muhammad Ari,” tambahnya.

“Untuk mengetahui alasan mendapat sanksi skorsing maupun Drop Out/DO, tidak diberikan hak untuk didengar dan melakukan klarifikasi,” lanjutnya.

Sehingga terdapat tindakan yang terkesan tidak transparan terhadap dirinya dan rekan-rekan mahasiswa lainnya.

“Tentunya ini menjadi tamparan terhadap kondisi ruang ruang demokrasi di ranah akademik. Tindakan ini sebagai pelanggaran kode etik, keputusan anti kritik dari sebuah lembaga pendidikan yang memiliki komitmen, untuk melindungi kebebasan berpendapat di dunia Pendidikan,” pungkasnya. (zar)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan