Menakar Langkah Selanjutnya dari Warga Dago Elos

BANDUNG – Ratusan warga yang berasal dari Dago Elos dan Cirapuhan yang terkena imbas polemik sengketa lahan seluas 6,3 hektar di Dago Elos, Kota Bandung pada Senin (20/6) melakukan aksi unjuk rasa (unras) di depan pintu masuk Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Kota Bandung.

Unras berlangsung sedari pukul 10.00 WIB dan berakhir sekira 4 jam kemudian. Warga yang tergabung dalam Forum Dago Melawan masih memperjuangkan atas terbitnya Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 109/PK/Pdt/2022.

Dalam putusan PK tersebut, Heri Hermawan Muller yang mengklaim hak atas tanah warga tersebut, ditetapkan oleh hakim masih berhak atas kepemilikan objek tanah seluas 6,9 hektar.

Padahal, dua tahun lalu, warga Dago Elos bisa bernafas lega. Sengketa lahan seluas 6,3 hektar di Dago Elos, antara mereka dengan keluarga Muller sudah terselesaikan. Selesai dengan sebuah kemenangan bagi warga berdasarkan putusan kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019.

Hakim Mahkamah Agung waktu itu mempertimbangkan bahwa Eigondom Vervoding atas nama ‘George Henrik Muller’ sudah berakhir. Lantaran paling lambat dilakukan pengajuan konversi seharusnya pada 24 September 1980.

Namun kemenangan tersebut sirna dengan kemunculan diterimanya Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 109/PK/Pdt/2022.

Kuasa Hukum Warga Dago Elos, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono mengatakan, warga mendatangi kantor BPN Kota Bandung untuk meminta kejelasan hak atas tanah yang diklaim warga di Dago Elos.

“Kami meminta penegasan saja dari BPN. Karena upaya-upaya kami yang telah dilakukan sampai saat ini tidak pernah ada jawaban,” ungkapnya kepada Jabar Ekspres, Senin (20/6).

“Begitu pun statement BPN terhadap putusan (PK) tersebut yang menurut pemahaman kami. Dan kami sudah menegaskan bahwa tanah di Dago Elos itu adalah tanah yang dikuasai negara,” tambahnya.

Heri mengatakan, era Eigendom Verponding alias hak milik dalam produk pertanahan Kolonial Belanda itu sudah hangus. Lantaran pihak yang mengaku sebagai pemilik hak, tidak mengkoversikan selama 20 tahun, paling lambat hingga 1980-an.

“Sehingga tanah tersebut menjadi tanah masyarakat. Sesuai peraturan pendaftaran tanah, warga yang menduduki dan menguasai secara fisik terhadap tanah Dago Elos, (warga) seharusnya menjadi prioritas atas hak tanah,” imbuhnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan