“Kebanyakan pembeli orang Jakarta. Kalau dilihat, penghasilan orang-orang Jakarta, kan, memang lebih besar. Terus harga barang antik di sini lebih murah, ketimbang di Jakarta. Orang Bandung juga ada, tetapi kebanyakan orang luar,” tambahnya.
Lantaran barang-barang ini, lanjutnya, khusus untuk mereka yang mapan. “Sudah enggak mikir apa-apa. Bukan orang yang masih memikirkan beras,” pungkasnya.
Pedagang barang antik lainnya, Yosep Tobing, (34) mengaku, toko miliknya sudah beradaptasi dengan pandemi yang berlarut-larut ini. “Kami main di online. Kami kebanyakan 70 persen online, 30 persen main ke toko. Semenjak pandemi, kebanyakan online.”
Ia menambahkan, sebelum pandemi pun jumlah pengunjung sebetulnya lebih banyak secara online, media sosial, dan platform jual beli lainnya. Dibandingkan para pengunjung yang sengaja mendatangi tokonya.
“Aman. Karena mengandalkan online itu. Sekarang sudah agak stabil. Pandemi landai, persenan (peningkatan) pendapatan hampir nyentuh 80 persen,” bebernya.
Senada dengan Abah Kepret, mayoritas pembelinya berasal dari luar kota. Ia curiga, orang Bandung jarang ke tempatnya, apakah karena ketidaktahuannya?
“Kebanyakan orang (Bandung) masih tidak tahu. Bahwa di sini ada Pasar Antik Cikapundung. Lebih banyak pengunjung dari orang Jakarta dan luar (kota),” ucapnya.
Ia pun mengharapkan, pemerintah mulai aktif kembali membantu pergerakan ekonomi di Pasar Antik Cikapundung. “Mungkin, publikasi (mesti digencarkan) lagi di pemerintah, pemerintah kota, ataupun di wisata. Karena lebih banyak orang luar kota, yang tahu dari internet,” pungkasnya.