Pemerintah Naikkan Harga BBM, Pengamat: Itu Kebijakan Ngawur!

BANDUNG – Kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM dinilai tidak tepat. Pasalnya, banyak komoditas pangan pokok yang saat ini harganya tengah melambung.

Hal ini disampaikan oleh Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi.

“Ya tidak tepat. Itu kebijakan ngawur. Sudah tahu sekarang semua barang naik, jangankan komoditas yang kita impor (seperti kedelai, daging, gula pasir, bbm), minyak goreng aja kita jadi produsen CPO terbesar saja pemerintah gak becus itu ngurusnya,” ujarnya kepada Jabar Ekspres saat dihubungi, Jumat (8/4).

“Jadi kalau bisa, harus lebih besar BLT (Bantuan Langsung Tunai) minyak goreng ini, harus lebih dari 100 ribu,” tambahnya.

Acu menilai dana kelola kebun sawit tidak sebanding dengan pemberian BLT yang hanya berjumlah Rp100 ribu perbulan.

Dana kelola kebun sawit yang berlaku 18 Maret 2022, tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Dalam PMK tersebut, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan tarif pungutan ekspor atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya dari maksimal US$355 per ton menjadi US$375 per ton.

Tak hanya itu, Acu menilai BLT dan BSU tidak sebanding dengan gejolak harga BBM serta bahan pokok lainya yang saat ini kian memanas.

“Ya gak sebanding lah, saya kira barang barang naik cukup signifikan ya. Komoditas pangan, kemudian harga pertamax, bbm, ya oke lah bisa dikatakan bahwa pertamax itu tidak dikonsumsi oleh kalangan bawah. Tetapi kan ada efeknya juga terhadap transmisi harga secara tidak langsung, apalagi pertalite kadang langka di SPBU,” ungkapnya.

Menurutnya, pemerintah yang menaikkan PPN 11 persen pada awal April lalu, dinilai tidak bisa memilah prioritas.

“Pemerintah juga menaikkan PPN 11 persen kemarin, per satu April. Jadi saya kira gak jelas kebijakan pemerintah itu mana prioritasnya dalam pemulihan. Timingnya tidak memperhatikan kondisi saat ini, dimana masyarakat sedang terbebani karena aktivitas usaha belum sepenuhnya pulih,” kata dia.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan