Impian Pesantren Tunanetra Sam’an Darushudur, Mencetak Banyak Pengajar Al-Quran Braille

BANDUNG – Didirikan pada tahun 2018, masih dalam ikhtiarnya, Pesantren Tunanetra Sam’an Darushudur memiliki impian untuk terus mencetak para calon hafidz serta pengajar Al-Quran braille.

Pesantren Sam’an Darushudur bisa berdiri tak terlepas dari usaha sosok Ridwan Effendi. Dia merupakan seorang tunanetra sekaligus akademisi bergelar doktor bidang Pendidikan Bahasa Arab dari kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pesantren yang berlokasi di Kampung Sekegawir, Cimenyan, Kabupaten Bandung tersebut pun dari awal berdirinya, mengemban cita-cita dalam pemberdayaan penyandang disabilitas.

“Khususnya untuk disabilitas tunanetra. Bahkan dari awal, pendiri pesantren ini pun berasal dari seorang penyandang tunanetra,” ungkap guru asrama Pesantren Sam’an Darushudur, Samsul kepada Jabar Ekspres saat wawancara di wilayak pondok pesantren, Selasa (5/4).

“Disamping kegiatan pesantren pada umumnya, para santri dicetak bukan cuma untuk bisa baca tulis braille, tapi untuk bisa mengajarkan cara baca tulis braille,” katanya.

Hal tersebut bisa tercapai, kata Samsul, lantaran terdapat kelas penghafal Al-Quran Braille atau takhasus. Selain tentunya menerima pelajaran agama, mereka memang dikhususkan untuk menjadi seorang tahfidz.

“Meski terdapat pula pelajaran lain, tapi kebanyakan mereka (fokus) hafalan (quran). Santri yang masuk ke dalam kelas ini dikhususkan untuk mencetak penghafal quran,” ungkapnya.

Adapun terdapat sejumlah syarat bagi seorang calon santri untuk dapat masuk ke dalam kelas tersebut. Diantaranya ialah mesti sudah mahir membaca tulisan braille.

“Mereka harus lancar braille. Walaupun bisa dibantu dengan murrotal (bacaan quran) dari pengeras suara, tapi, kan, beda kalau hanya mendengar. Jadi mesti bisa baca juga,” ucap alumni program studi Bahasa Sastra Arab, UIN Sunan Gunung Djati Bandung tersebut.

“Mereka punya kewajiban setor hafalan sehari lima kali, 3 nambah, 2 ngulang. Dalam waktu satu tahun, mereka targetnya 10 juz. Jadi selama 3 tahun disini, santri sudah khatam 30 juz Al-Quran,” tambahnya.

Dalam metode pembelajaran menghafal Al-Qur’an Braille, Samsul mengaku tak ada metode khusus. Para santri menghafal dengan dua cara: memperdengarkan murrotal quran dan terus memperlancar bacaan Al-Qur’an Braille.

“Baca-baca (Al-Qur’an Braille, red), lalu untuk yang belum lancar, perbanyak mendengar murrotal (qur’an) melalui speaker kecil yang disediakan,” sambungnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan