Wacana Penundaan Pemilu, Pengamat: Pemerintah Akan Repot, Harus Tetap Dijalankan

BANDUNG – Penundaan pemilu tidak serta merta dapat langsung dilakukan pemerintah. Terlebih apabila belum bisa memenuhi tiga aspek: filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Hal demikian disampaikan Pengamat Kebijakan Publik, Deny Rismanyah saat dihubungi wartawan Jabar Ekspres, pada Kamis (3/3) siang tadi.

“Mengapa dulu ada pembatasan jabatan? Itu supaya mencegah seseorang berlaku otoriter. Sebab ini pernah dialami pada masa lalu. Baik di internasional maupun di Indonesia. Dulu di sini ada Soeharto,” ujarnya.

“Apalagi kita (saat ini) di zaman demokratitasi. Maka dengan adanya penundaan pemilu, membuat hak rakyat tidak dijalankan untuk terjadinya sirkulasi pergantian kekuasaan,” jelasnya.

Lalu berkenaan dengan aspek sosiologis, Deny mempertanyakan soal wacana ini. Apakah memang sudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat?

“Bisa dilihat dari berbagai media. Baik media sosial dan media mainstream. Kelihatannya, banyak yang tidak setuju. Ini mencerminkan bahwa sebagian masyarakat menolak penundaan pemilu,” tandasnya.

Sementara itu apabila ditilik dari sisi yuridis, lanjut Deny, perihal lama jabatan seseorang pun dibatasi oleh undang-undang. “Hanya dua periode. Lima tahun tiap periodenya,” katanya.

“Dari sisi yuridis pula, wacana penundaan pemilu ini jadi kehilangan urgensinya. Lantaran tidak adanya landasan hukum dalam wacana tersebut,” sambungnya.

Maka, menurut Deny, hal ini  tidak dimungkinkan. “Sehingga harus dijalankan (pemilu). Sebab pemerintah akan repot. Pemerintah harus bisa menjelaskan perihal tiga aspek tersebut. Bagaimana dia bisa menjelaskan filosofisnya, sosiologisnya, dan yuridis?” pungkasnya. (zar)

 

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan