Model Kepemimpinan Sunda

Pertama, animan (lemah lembut), pemimpin harus memiliki sifat lemah lembut, dalam arti tidak berperilaku kasar;

Kedua, ahiman (tegas), bersikap tegas, dalam pengertian tidak plinplan (panceg haté);

Ketiga, mahiman (berwawasan luas), memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar tidak kalah dari bawahannya.

Keempat, lagiman (gesit/cekatan/terampil), dituntut terampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau melakukan suatu pekerjaan;

Kelima, prapti (tepat sasaran), memiliki ketajaman berpikir serta tepat sasaran karena jika keliru atau berspekulasi akan menghambat suatu pekerjaan;

Keenam, prakamya (ulet/tekun), memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi;

Ketujuh, isitna (jujur),  dituntut memiliki kejujuran, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan, agar dipercaya orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) dan bawahannya. Dengan demikian, terjalin kesepahaman yang harmonis;

Kedelapan, wasitwa (terbuka untuk dikritik),  memiliki sikap legowo dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan terbuka untuk dikritik  jika berbuat salah atau menyimpang dari aturan.

Kepemimpinan Sunda termasuk tipe kepemimpinan transaksional kharismatis. Kepemimpinan seperti ini dalam penyampaian ide, gagasan dan nilai disertai dengan dimensi citra diri atau pesona pemimpin menanamkan unsur emosional antara pemimpin dan pengikut. Oleh karenanya, figur pemimpin adalah sebagai orang yang berjasa atau memiliki kelebihan dibandingkan pengikutnya. Untuk beberapa kondisi hal ini dapat mempermudah pemimpin menawarkan gagasannya dan pengikut lebih mudah percaya pada figur pemimpinnya.

Untuk itu kepemimpinan yang transaksional kharismatis adalah solusi akan harapan kepemimpinan nasional yang baik ditengah kenyataan politik yang cenderung jauh dari keinginan masyarakat. Disamping itu, seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan spiritual. Spiritualitas menjadi benteng terakhir agar seorang pemimpin sadar betul bahwa kepemimpinan adalah amanah yang musti dipertanggungjawabkan.

Prasyarat lain adalah memiliki nalar yang memadai agar apa yang dikatakan dan menjadi bagian dari pengambilan kebijakan benar-benar sebanding lurus dengan hajat publik. Saat ini diakui atau tidak, nalar inilah yang nyaris punah dalam pergaulan politik kita sehingga nyaris pemimpin yang dilahirkan tak ubahnya dengan mereka yang tidak mampu berpikir, tidak merumuskan visi jauh ke depan. Karena nalar absen maka menjadi sangat tidak aneh kalau yang muncul ke permukaan adalah pencitraan, politik transaksi, selebrasi politik, popularitas, jual beli gelar.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan