Model Kepemimpinan Sunda

Karuni/karunya. Perintah dirasakan seperti bentuk kanyaah dan merupakan karunia/penghargaan atas kemampuan yang diperintah atas kemampuan dirinya; Mukpruk. Harus mampu membesarkan hati, sehingga tugas yang dibebankan tidak menjadi beban;

Ngulas. Memberikan ulasan terhadap pekerjaan yang dilakukan dengan baik; Nyecep. Mampu menentramkan pikiran yang diperintah dengan pujian, apalagi ditambah dengan pemberian;

Ngala angen, bisa narik simpati bawahan. dengan cara menjalin  silaturahim yang  wajar, sehingga muncul loyalitas.

Dalam konotasi saat ini, ditengah situasi politik baik nasional maupun global yang dinamis cenderung anarkis, dibutuhkan seorang leader yang tidak saja visioner, didukung kekuatan politik yang kuat, juga mampu memperlakukan rakyat dengan manusiawi dan menjadikan rakyat bukan bawahan untuk disuruh-suruh, melainkan disentuh kalbunya, sehingga perintah dirasakan oleh rakyat sebagai kehormatan, sehingga melahirkan loyalitas.

Loyalitas tidak bisa dibangun dengan instan, namun melalui serangkaian kebaikan tampa pamrih yang kontiyu, loyalitas tidak bisa dibeli dengan uang, karena loyalitas yang diharapkan dengan bantuan uang ternyata tidak abadi, suatu saat ketika patron-nya membutuhkan, dia akan berkalkulasi seberapa menguntungkannya bagi dia.

Maka dengan menerapkan Dasapasanta dalam kepemimpinan nasional, diharapkan  akan melahirkan pemimpin sesuai dengan harapan masyarakat saat ini, yang cenderung menginginkan pemimpin yang berkepribadian kuat untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, tidak cengeng;  santun dalam bersikap dan bertutur sapa; adil dalam memperlakukan masyarakat;  menjiwai keinginan rakyat dan mampu memimpin bangsa ini berkompetisi dalam konteks global, serta mewujudkan cita-cita nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

Disamping dalam naskah diatas, konsepsi kepemimpinan terdapat juga dalam naskah Sanghyang Hayu yang merupakan  naskah berbahan nipah abad 16 M. Dalam naskah itu, dipaparkan lima belas unsur penting  yang harus dimiliki pemimpin, yang terangkum ke dalam lima kelompok, sebagaimana dikemukakan Darsa (1998), yaitu:  Budi-guna-pradana (bijak-arif-saleh); Kaya-wak-cita  (sehat/kuat-bersabda-hati); Pratiwi-akasa-antara (bumi-angkasa-antara; Mata-tutuktalinga (penglihatan-ucapan-pendengaran), dan Bayu-sabda-hedap (energi-ucapan/sabda itikad/kalbu dan pikiran). Semuanya berhubungan satu sama lain yang membangun sikap dan karakter pemimpin ideal.

Pemimpin yang baik dan ideal dalam kepemimpinan Sunda, menurut naskah  Sanghyang Hayu, juga harus berpegang teguh  kepada prinsip astaguna ”delapan kearifan” agar kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan