JAKARTA – Dokter spesialis anak Dr. dr. Meta Hanindita, Sp.A(K). mengatakan miskonsepsi mengenai stunting masih terjadi di antara para orangtua sehingga pemberian nutrisi pada balita menjadi kurang optimal.
Menurutnya, orangtua kerap mengaitkan stunting dengan faktor keturunan, misalnya apabila orang tua memiliki tinggi badan yang tidak ideal maka anaknya pun demikian. Padahal, kata Meta, hal tersebut justru keliru.
Selain itu, ia mengatakan masih banyak orangtua yang belum menerapkan praktik pemberian makanan pada balita dengan tepat.
“Sebagai contoh, saat memberikan MPASI (makanan pendamping ASI) masih ada yang memakai menu tunggal untuk anak di atas dua tahun. Mereka berpikir, ‘Oh di atas 2 tahun ini makannya lebih bebas’, tapi kemudian sebebas-bebasnya itu tidak memperhitungkan seberapa banyak protein hewaninya, seberapa banyak sumber lemak, dan sebagainya,” kata Meta..
Dia mengatakan para orangtua kerap menganggap enteng menu makanan balita di atas dua tahun. Padahal, periode setelah 1.000 hari pertama pada pertumbuhan anak juga termasuk periode yang penting.
“Walaupun memang 1.000 hari pertama termasuk periode kritis, tapi periode setelahnya, 2 hingga 5 tahun masih periode pertumbuhan dan perkembangan anak yang pesat,” tutur dokter yang menjadi anggota di Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu.
Oleh sebab itu, kemungkinan stunting masih dapat terjadi pada balita hingga usia 5 tahun, meski angka persentase kasus stunting pada periode tersebut tidak setinggi bila dibandingkan dengan periode 1.000 hari pertama.
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa angka stunting di Indonesia masih berada pada kisaran 30,8 persen, artinya 1 dari 3 balita di Indonesia masih mengalami stunting.
“Itu adalah angka yang cukup tinggi. Makanya, pak Presiden Jokowi juga memerintahkan percepatan penurunan angka stunting hingga 14 persen,” sambung Meta.
Stunting merupakan salah satu kondisi kekurangan nutrisi berkepanjangan sehingga menyebabkan balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang. Kondisi stunting diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO.
“Stunting dampaknya banyak, mulai dari menurunnya daya tahan tubuh, menurunnya IQ, menurunnya kapasitas pendidikan dan pekerjaan, sampai dengan meningkatkan berbagai risiko penyakit saat dewasa,” ujar Meta.