“Don’t Breathe 2” Kembalinya Sang Mesin Pembunuh Veteran Perang

“Kerusakan spiritual, emosional, dan mental, itulah dia. Dia sudah hidup dalam isolasi untuk waktu yang sangat lama. Dia tidak berguna bagi dunia pada umumnya–dunia tidak memperlakukannya dengan baik. Seperti anjing yang terlempar–jika Anda mencoba mengelusnya, dia akan menggigit tangan Anda,” kata aktor itu.

Mengingat waralaba “Don’t Breathe” bukanlah jenis film yang mengadopsi plot rumit dan premis cerita yang sederhana, barangkali penguatan karakter Nordstrom dengan kombinasi trauma perang, rahasia gelap di film pertama, ditambah motif caranya mengasuh Phoenix di tahun saat sekuel kedua berlangsung, itu akan menjadi bahan bakar dan kekuatan utama cerita yang mendorongnya jauh lebih mengalir dan intens.

Masa lalu trauma perang itu bukan semata-mata membuat Nordstrom menjadi sosok pahlawan baru, justru wilayah abu-abu antara anti-pahlawan dan anti-villain masih bisa dimainkan. Ia bisa sadis sekaligus rapuh.

Stephen Lang dan Madelyn Grace dalam film “Don’t Breathe 2”. (ANTARA/HO-Screen Gems/Sony Pictures)
Stephen Lang dan Madelyn Grace dalam film “Don’t Breathe 2”. (ANTARA/HO-Screen Gems/Sony Pictures)

Sekuel kedua sebetulnya telah memberi panggung terhadap sosok Nordstrom dan Phoenix, sayangnya kesempatan itu tak digunakan lebih baik. Penonton memang disuguhkan eksplorasi sosok Phoenix tetapi tidak dengan Nordstrom yang hanya tampak seperti sosok setengah matang.

Jika bicara soal intensi ketegangan sebagai ciri khas genre horror thriller, rasanya film pertama juga jauh lebih membekas di benak penonton daripada sekuel kedua.

Meski demikian, “Don’t Breathe 2” patut diacungi jempol dari segi laga. Cara Nordstrom membaca medan dengan mengandalkan indera pendengaran dan penciuman, caranya membaca lawan tarung, dan gerakan-gerakan perkelahiannya jauh lebih apik dibandingkan film pertama.

Sekuel kedua dari film “Don’t Breathe” ini sudah dapat dinikmati di bioskop tanah air sejak Jumat (15/10), setelah sebelumnya dirilis di Amerika Serikat pada Agustus lalu. Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, menonton “Don’t Breathe 2” di bioskop dengan “privilese” medium audio dan layar tentu dapat menghadirkan sensasi tersendiri bagi penonton. (antaranews)

Tinggalkan Balasan