Menunggu 2 T

Saya pernah membantu urusan teman dengan sebuah bank di Singapura. Waktu itu ada seorang pengusaha besar Surabaya meninggal dunia. Punya pabrik keramik modern dan besar sekali. Tidak punya anak kandung.

Tidak punya saudara kandung. Ia punya dua anak angkat. Sang ayah punya tabungan besar di Singapura. Untuk mencairkannya luar biasa sulitnya. Terutama karena salah satu anak angkat itu lebih lihai mengurus di bank tersebut.

Saya membayangkan Aki juga meninggalkan tabungan di bank Singapura. Tapi, itu tadi, kok anak-anak Aki hebat sekali. Tidak tergoda dengan tabungan itu.

Bahkan anak Aki itu –seperti diceritakan seorang keluarga dokter kepada ”orang saya” di Palembang– tabungan itu tidak hanya Rp 2 triliun.

Berapa? Tariklah napas dulu – Rp 16 triliun.

Tentu saya tidak langsung percaya –meski pun kepada saya di-copy-kan percakapan WA yang menyebut angka Rp 16 triliun itu.

Mengapa saya tidak percaya?

Karena, angka Rp 16 triliun itu disebut-sebut terkait dengan  tagih-menagih utang. Sang anak ditagih. Yang menagih seorang dokter. Nilai tagihan Rp 3 miliar. Yang ditagih minta mundur terus. Sambil mengatakan ada uang di Singapura Rp 16 triliun.

Si teman percaya uang itu benar-benar ada. Ia pernah ikut menemani si anak ke Singapura. Mengurus uang tersebut. Ada. Karena itu ia berani meminjami uang sampai Rp 3 miliar. Agar urusan menarik warisan sang ayah bisa segera terwujud.

Si anak berjuang tidak mengenal lelah untuk mengurus warisan itu. Bertahun-tahun. Dengan biaya yang besar.

Aki adalah orang kaya lama. Dengan gaya lama pula –tidak mau menunjukkan kekayaannya. Ia punya usaha di mana-mana. Tentu dengan banyak partner luar negeri. Itu yang membuat urusan bertambah panjang.

Hari-hari esok adalah hari  penuh harapan: uang Rp 2 triliun tersebut siapa tahu benar-benar datang. (**)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan