Antara Perut dan Maut, Optimalkah PPKM Darurat?

Andai kemudian kebijakannya seratus persen tak boleh berjualan, saya khawatir ini menjadi kebijakan yang kontraproduktif.

Di satu sisi kita ingin memperhatikan kesehatan, tanpa mengabaikan sisi recovery ekonomi. Namun, sekali lagi misalnya, andai dilakukan pelarangan berjualan secara total, pasti di sana sini akan banyak perlawanan.

Betapa tidak, para pedagang asongan, misalnya, pasti tidak setuju dengan PPKM Darurat. Mereka mayoritas baru bisa makan dari hasil penjualan hari itu.

Bagi mereka, makan tidaknya hari itu –atau maksimal besok– sangat bergantung pada hasil penjualan hari ini. Lantas, apa yang akan terjadi jika mereka dilarang berjualan?

Secara sederhana, kita bisa menjawab dengan mudah. Mereka akan melakukan penolakan. Mereka akan tetap berjualan. Itu semua mereka lakukan demi keluarganya. Bagaimana mungkin seseorang akan membiarkan keluarganya tidak makan?

Bansos? Bukankah sudah dinyatakan bahwa besarannya Rp600.000 per keluarga per bulan. Andai suami-istri sebuah keluarga hanya satu yang jadi tulang punggung (mencari uang), berarti mereka berdua harus menggunakan dengan berhemat karena jatahnya Rp20.000 per hari.

Lalu bagaimana, misalnya, kalau mereka harus membayar listrik dan PAM minimal. Apalagi kalau mereka mempunyai anak sekolah. Pulsa untuk anaknya harus dibayar pula. Berarti besaran biaya mekan mereka per hari menjadi jauh lebih kecil lagi. Itu untuk mereka yang mendapat bansos.

Bagaimana dengan keluarga yang tidak mendapat bansos? Mereka bisa dipastikan akan tetap berdagang atau melakukan kegiatan lainnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.

Mereka juga pasti menyadari risiko yang harus ditanggung. Jadi, kebijakan kita harus dipikirkan secara matang. Karena, seperti akhir deretan kata-kata saya di awal tulisan ini, kalau sudah berkaitan dengan perut, semua tak lagi takut maut.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan