JAKARTA – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengungkap alasan pemerintah dalam memperluas objek kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Kami mempertimbangkan untuk memperluas basis pengenaan PPN tetap dengan memperhatikan dengan kondisi yang ada saat ini,” katanya dalam media briefing secara daring di Jakarta, Senin, (14/6).
Ia mengatakan, perluasan objek yang dikenakan PPN dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menjadi opsi pemerintah untuk memaksimalkan penerimaan negara.
Hal itu dilakukan mengingat penerimaan dari PPN berkontribusi cukup dominan dalam struktur penerimaan pajak yaitu sekitar 42 persen.
Nantinya, jika aturan tersebut diberlakukan, maka pengenaan PPN untuk sembako dan pendidikan tidak akan dikenakan tarif yang merata.
Pemerintah hanya akan mengenakan PPN pada sembako yang bersifat premium saja, sedangkan untuk bidang pendidikan hanya dikenakan pada yang bersifat komersial.
“Kami ingin menonjolkan aspek keadilan dan gotong royong. Di mana pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan pajak, terutama masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi pajak lebih besar daripada yang lainnya,” jelasnya.
Selain itu, Neil menyatakan, pemerintah ingin menciptakan sistem pemungutan PPN yang lebih efisien dan less distortion. Mengingat distorsi ekonomi terjadi seiring adanya tax incidence. Sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Kemudian, menurutnya, jika dibandingkan dengan negara lain, ternyata tarif PPN di Indonesia termasuk relatif rendah. Karena rata-rata tarif PPN negara OECD mencapai 19 persen, sedangkan negara BRICS sebesar 17 persen.
Selanjutnya, C-efficiency PPN Indonesia sebesar 0,6 atau 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Sedangkan Singapura, Thailand dan Vietnam sudah lebih tinggi 80 persen.
Ia menjelaskan, terdapat pergeseran kondisi pengenaan perpajakan PPN secara global pada beberapa tahun terakhir yang disebabkan oleh tingginya tax expenditure.
“Tarif standar PPN di 127 negara yaitu sekitar 15,4 persen dan juga banyak negara yang kemudian meninjau ulang tarif PPN dalam rangka menjaga prinsip netralitas,” katanya.
Tak hanya itu, Neil menuturkan pemerintah juga ingin menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat terutama golongan menengah ke bawah yang lebih merasakan dampak pandemi COVID-19.