Capai 11,5 Persen, Angka Prevalensi Stunting di Kabupaten Bandung Barat

NGAMPRAH – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bandung Barat (KBB) mencatat angka prevalensi stunting (gizi buruk) saat ini mencapai 11,5 persen, atau memenuhi target yang dicanangkan pemerintah pusat, yaitu sebesar 14 persen.

Kendati demikian, upaya pencegahan dan penanggulangan stunting di Bandung Barat dinilai belum terlalu optimal.

Alasannya karena pandemi COVID-19 yang menghantam sehingga berpengaruh pada pelayanan kesehatan.

“Belum optimal karena kondisi pandemi COVID-19. Tentu sangat berpengaruh terhadap kasus stunting, karena kan berkaitan juga dengan pelayanan kesehatan,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan KBB Eissenhower Sitanggang melalui Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dewi Muniarti, kepada wartawan Selasa (1/6)

Dirinya menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi stunting, salah satunya masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK) di tingkat keluarga.

“Akhirnya kita terus berupaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan bagi sasaran 1.000 HPK dengan menggenjot penyuluhan gizi,” terangnya.

Orangtua terutama wanita yang sedang mengandung juga diprioritaskan untuk menerima pemberian makanan tambahan melalui program ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) dan anemia. Kemudian kegiatan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, bayi, balita, dan remaja putri.

“Lalu penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang menunjang kegiatan pencegahan stunting, serta kegiatan koordinasi dan kolaborasi dengan lintas sektor dalam upaya pencegahan dan penanggulangan stunting,” paparnya.

Stunting sendiri merupakan kondisi gagal tumbuh baik pertumbuhan fisik maupun perkembangan otak. Secara fisik anak akan terlihat lebih pendek dari anak seusianya. Stunting bisa dicegah atau dikoreksi sampai anak usia 2 tahun atau Seribu HPK.

“Jika tidak diperbaiki sampai usia 2 tahun, maka kondisi ini akan bersifat permanen sehingga anak akan memiliki kecerdasan yang rendah atau kurang dibanding dengan anak-anak normal lainnya. Itu akan berakibat terhadap penurunan daya saing atau kualitas sumber daya manusia di masa depan,” tandasnya. (mg6)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan