JAKARTA – Masyarakat tidak perlu merespons bom bunuh diri di pintu gerbang Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, dengan ketakutan. Polri melalui Densus 88 terus bekerja, membongkar sel-sel teroris.
“Yang jelas pihak keamanan seperti Densus 88 itu tidak pernah berhenti. Ketika kita tidur, mereka bangun. Ketika kita diam, mereka bergerak,” kata Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi kepada wartawan, Senin (29/3/2021).
Menurut Islah, sebagian masyarakat ada yang antipati menyikapi penangkapan terduga teroris. Penyebabnya antara lain karena masyarakat tidak curiga dengan keseharian orang-orang yang ditangkap. “Tapi pihak keamanan lebih tahu, intelijennya lebih bergerak,” ujarnya.
Islah mengatakan, tujuan teroris adalah menekan pemerintah dan masyarakat. Teroris ingin pemerintah bertekuk lutut, sehingga mereka bisa menguasai pemerintahan. Ketika semua menyerah, mereka berharap, akan lebih mendapat pengakuan dari masyarakat.
“Apapun tujuan teror mereka itu sebenarnya bukan hanya surga, tapi juga ingin menguasai negara ini, menguasai pemerintahan ini,” imbuhnya.
Konsep seperti itu, kata dia, sudah ada sejak awal Islam. Artinya, kata dia, teroris selalu melawan pemerintahan dan akan berhenti sampai mereka berkuasa. Islah mengatakan sudah tepat Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengimbau agar masyarakat tidak takut menyikapi teror bom.
“Ini bukan hanya soal menciptakan kepanikan dan ketakutan, tapi mereka ingin membuat semua orang bertekuk lutut terhadap mereka,” ujar Islah.
Dia membeberkan ada sekitar 400 terduga teroris ditangkap pada 2020. Tahun ini sudah hampir 100. Islah menilai teroris terpukul. Apalagi jalur pendanaan mereka dalam pengawasan PPATK dan Polri.
Cukup menyulitkan karena terorisme tidak bisa lepas dari pendanaan.
Ketika transaksi elektronik diendus PPATK, kelompok teroris menggunakan kotak amal untuk mengumpulkan dana. Islah berpendapat, teror bom di Makassar merupakan reaksi teroris terhadap penangkapan-penangkapan dan jalur pendanaan mereka yang terus terjepit.