JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan membuat tafsir Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bukan ranah pemerintah tetapi hakim di pengadilan atau penegak hukum.
Karena itu, Syarief Hasan mempertanyakan langkah pemerintah yang ingin membuat tafsir UU ITE. Pasalnya, ia menilai langkah pemerintah untuk membuat tafsir telah mengambil kewenangan pengadilan atau penegak hukum.
Menurutnya, langkah tersebut hampir sama saat pemerintah mengambil alih hak anggaran DPR. Oleh sebab itu, Syarief Hasan menegaskan langkah tafsir UU ITE ini melengkapi kebijakan sebelumnya yang merupakan suatu kemunduran sistem ketatanegaraan Indonesia.
Selain itu, tegas Syarief Hasan, merusak demokrasi dan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Syarief Hasan menilai langkah yang akan dilakukan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) hanya akan memunculkan ketidakpercayaan masyarakat.
“Masyarakat akan makin tidak percaya karena hukum ditafsirkan sendiri oleh pemerintah yang seharusnya diserahkan kepada hakim,” kata Syarief Hasan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/2).
Syarief Hasan menyebut hal yang perlu dilakukan hari ini adalah merevisi UU ITE melalui DPR RI sebagai pembuat UU, ataupun penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh presiden.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini menegaskan bahwa UU ITE harus direvisi karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Sebab, UU ITE memiliki banyak celah yang sering digunakan sebagai palu gada bagi para pengkritik pemerintah.
Menurut dia, prosedur revisi UU ITE bisa melalui pengusulan fraksi-fraksi di DPR RI ataupun penerbitan perppu. Selain itu, bisa pula pemerintah yang membuat usulan revisi UU ITE ke DPR. Syarief menegaskan karena pencetus ide revisi UU ITE ini awalnya adalah presiden, maka secepatnya yang bersangkutan mengambil langkah inisiatif.
“Pemerintah harus mengambil inisiatif yang akan ditempuh sesuai prosedur ketatanegaraan, bukan dengan mengambil alih ranah penegak hukum atau pengadilan,” katanya.
Syarief menjelaskan lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi bernama “Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet)” mencatat bahwa kasus tertinggi yang dijerat UU ITE terjadi pada 2016 sebanyak 83, 2017 ada 53 kasus, 2018 25 kasus, dan 2019 24 kasus, dan 2020 terdapat 64 kasus. Data dari SAFEnet juga menyebut dalam praktiknya banyak pelapor yang berasal dari berbagai pihak. Sekitar 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian.