BANDUNG – Fenomena runtuhnya politik dinasti di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Indramayu menjadi sorotan publik. Kekalahan ini di luar dugaan lantaran banyak yang memprediksi jika keluarga petahana bisa meneruskan kekuasaan.
Pengamat Politik dan Pemerintahan Universitas Parahyangan (Unpar), Prof Asep Warlan Yusuf menilai, runtuhnya politik dinasti lantaran tidak mendapat dukungan warga.
Menurutnya, masyarakat sudah merasa bosan dengan kepemimpinan dari keluarga petahana. Sehingga dalam pilkada kemarin tidak terlalu mendukung calon yang ada hubunganngan atau kekerabatan dengan pihak incumbent.
“Memang itu menjadi penilaian negatif. Misalnya, akan melindungi perbuatan pelanggaran sebelumnya, kemudian akan disetir oleh mereka yang di belakangnya,” kata Prof Asep saat dihubungi Jabar Ekspres, Kamis (10/12).
“Seperti zaman Ibu Atty Suharty dan Pak Itoc Tochija di Cimahi. Ada juga seperti di Indramayu zaman pak Irianto MS Safiudin alias Yance dan bu Anna Sophana. Jadi imej itu sangat kuat untuk dijadikan negatif, tidak percaya yang gitu-gituan,” imbuhnya.
Di samping itu, kata dia, politik dinasti itu sering kali melahirkan sebuah kondisi yang bagi masyarakat tidak terlalu kuat kepada seorang perempuan.
“Kalau ke perempuan atau istri akan khawatir. Mampu gak daya jangkaunya. Contohnya, Kabupaten Bandung yang besar yang menuntut mobilitas yang tinggi. Tantangan makin berat, tuntutan publik makin besar, mampu gak ibu-ibu dengan tantangan berat tadi?,” katanya.
Maka dari itu, masyarakat Kabupaten Bandung lebih kepada sosok laki-laki yang mampu menghadapi tantangan sebagai Bupati. Apalagi, ucap dia, sudah mempunyai pengalaman.
Ditambah, di Kabupaten Bandung, Sahrul mempunyai daya tarik karena dia seorang artis yang dikenal dan disukai, kemudian mereka memilihnya. “Karena Sahrul punya daya jual untuk meraup suara. Jadi dinasti salah strategi hemat saya,” ungkapnya.
Mengenai saling klaim kemenangan. Prof Asep mengatakan, faktanya membuktikan hasil quick count relatif tidak jauh beda dengan yang diumumkan oleh KPU.
Menurutnya, jika quick count mengalami error margin, itu paling tinggi sekitar 2 persen. Sehingga jika mengalami error paling lebih tinggi 2 persen atau 2 persen lebih rendah dari yang ada.