Dua Tombol

“Ia seorang pria yang sama sekali tidak memiliki kualitas kepemimpinan yang menarik sifat paling dasar dari para pengikutnya yang rasis,” kata John.

“Perdebatan itu begitu kacaunya hingga mirip api yang tidak terkendali di tempat sampah di dalam bangkai kereta api,” katanya.

Maka format debat pun kini diperdebatkan publik. Umumnya orang mengusulkan agar ada perubahan format debat. Agar jalannya debat bisa lebih tertib. Tidak lagi kacau seperti debat pertama lalu.

Umumnya orang mengecam Trump. Yang sejak awal sudah terus memotong pembicaraan Biden. Sampai moderatornya agak kewalahan. Sampai Biden nyeletuk dengan sinisnya: ”badut itu tidak tahu harus ngomong apa”. Biden juga sempat menyemprot Trump: ”tutup mulut”.

Sehari setelah debat, Trump menilai moderator malam itu telah memihak Biden. Selesai debat, Trump tidak menyapa Biden. Pun tidak menyapa moderator, Chris Wallace.

Justru Biden yang masih punya rasa humor. Selesai debat Biden menghampiri moderator sambil mengatakan ini: saya yakin Anda dikontrak di sini tidak untuk sebuah arena tinju kan?

Maka publik kini sibuk ngrumpi: seperti apa debat berikutnya dua minggu lagi.

Kalau pun akan ada perubahan tampaknya akan tetap sulit mengendalikan Trump. Ia harus dalam posisi agresif. Hasil surveinya kedodoran. Dengan agresif begitu Trump bisa mewakili ”kelompok yang suka debat kusir” atau ”kelompok yang pokoknya”. Yakni kelompok yang kurang berpendidikan. Yang sering disebut lebih nasionalis.

Itulah basis Trump yang harus dijaga.

Maka muncullah ide ini: di moderator disediakan dua tombol. Begitu giliran Biden yang bicara tombol mikrofon Trump di off-kan.

Mungkin juga kurang efektif. Suara Trump cukup keras untuk bicara tanpa mikrofon.

Dan pertunjukan ini terjadi di Amerika. Jadi tontonan buruk sedunia.(Dahlan Iskan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan