Padahal Arief sudah pusing akibat bank penerima L/C tidak bisa mencairkannya.
Uang berkarung-karung itu dia bawa ke Una Una. Lunas. Kopra pun masuk gudang di Poso. Kunci gudang ia serahkan ke bank yang mencairkan L/C tersebut.
Arief pun mencarter kapal. Ia ikut naik kapal itu –mengawal sendiri kopra 2.000 ton menuju Surabaya.
Arief untung Rp 10/kg. Ia bisa langsung membeli mobil sedan baru: Peugeot 504. Sang ayah kaget anak umur 18 tahun ini beli mobil baru.
“Kamu ambil untung ya” tegur sang ayah.
“Ya iyalah Pa. Kan harus untung,” jawabnya.
Sang ayah tidak mempersoalkan lebih lanjut. Mungkin justru bangga di dalam dada. Setelah membeli mobil pun Arief masih punya kelebihan laba. Itu untuk modal membeli kopra lagi. Ia pun kembali ke Poso. Naik kapal lagi enam jam ke Una Una. Kembali dari Una Una yang kedua inilah Arif jatuh ke laut.
Ia trauma.
Itulah dagang kopra terakhir baginya. Kebetulan ia menemukan bisnis baru. Di umur 19 tahun. Yakni ketika Arief ke tempat temannya di Samarinda. Teman itu punya bengkel mobil. Di dekatnya ada orang ngelas. Arief merasa aneh kok ngelas tidak pakai karbit.
“Orang asing tidak suka bau karbit,” jawab tukang las itu.
Itulah untuk kali pertama Arief melihat ada orang ngelas tidak pakai karbit. Arif tertarik dengan pengetahuan baru itu. Ia banyak bertanya kepada tukang las itu. Termasuk dari mana mendapat gas untuk ngelas itu.
“Ini barang impor,” ujar tukang las itu.
Arief pun langsung melihat peluang: bikin bahan las itu di dalam negeri.
Ia sudah punya modal. Tapi tidak cukup. Ia ajak tiga teman sebayanya untuk kumpul-kumpul modal. Tidak juga cukup. Mereka sepakat mencari kredit bank.
Ayah Arief merestui tapi tidak mau gabung. Arief harus tanggung sendiri risiko masuk ke dunia industri. Sang ayah akan terus di sektor perdagangan.
Pabrik pun dibangun di Surabaya. Awalnya sulit diterima pasar. Sampai-sampai tiga temannya angkat tangan. Arief diminta mengembalikan modal mereka. Arief cari tambahan kredit jangka pendek.