Samarinda Toraja

Bisnis kopra keluarga ini lantas dikendalikan dari Surabaya. Arief pun akhirnya dibawa ke Surabaya –bersama bayi yang sudah lebih besar itu.

Di Surabaya Arief sekolah di SD Negeri Kapasari. Ketika masuk SMP Arief memilih SMP swasta (Petra) agar bisa masuk sore. Di pagi hari Arief diminta membantu bapaknya di gudang kopra.

Demikian juga waktu SMA. Ia pilih SMA Petra –karena bisa masuk sore.

Waktu tamat SMA itulah Arief dihadapkan pada pilihan dari ayahnya: mau kerja atau mau kuliah.

Arief pilih kerja. Kenapa?

“Karena pilihan “kerja”‘ diucapkan ayah yang pertama. Maka saya jawab pilih kerja,” ujar Arief. “Saya tahu maksud ayah mengapa kata kerja’ diucapkan sebelum kata ‘kuliah’,” tambahnya. “Dan lagi kuliah kan masih bisa nanti-nanti,” katanya.

Sang ayah lantas mengirim anak umur 18 tahun itu ke Poso. Di sana Arief diminta belajar kopra kepada teman dagangnya: Haji Rauf Lasahido.

Setelah tujuh hari naik kapal –lewat Makassar, Kendari, Buton, dan Luwu –Arif tiba di Poso. Ia menempati satu kamar di rumah Haji Rauf yang besar.

Haji Rauf adalah pemilik kebun kelapa terbesar di Sulteng. Seingat Arief, sekitar 2/3 kebun kelapa di sana adalah milik Haji Rauf.

Sulteng memang pusat kopra di Indonesia. Dari sini pula orang seperti Eka Tjipta Widjaya –sebelum menjadi konglomerat– mendapat dagangan kopranya.

Selama ”magang” di Haji Rauf, Arief bisa mengumpulkan 2.000 ton kopra. Harga di sana Rp 18/kg, tapi Arief ingin menyikat habis seluruh kopra yang ada. Ia memberi harga lebih menarik: Rp 22/kg. Semua kopra pun lari ke Arief.

Kopra itu ia jual ke ayah di Surabaya dengan harga Rp 32/kg. Sang ayah setuju –tanpa tahu berapa anaknya membeli dari petani.

Sang ayah lalu kirim L/C lokal. Tapi L/C itu tidak bisa diuangkan. Padahal petani menunggu di pulau Una Una.

Untung Arief bisa dansa. Misalnya cha-cha. Ia belajar dansa waktu di SMA. Kemampuan dansa itulah yang membuat Arief bisa mencairkan uang di L/C –lewat bank yang pimpinannya minta diajari dansa.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan