BANDUNG-Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Karim Suryadi menilai, kemunculan artis atau selebritas dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menunjukkan bahwa partai politik (parpol) hanya mengejar popularitas untuk mendulang suara.
Seperti diketahui, beberapa nama artis muncul sebagai calon wakil bupati di sejumlah daerah yang menggelar pilkada di Jawa Barat.
Mereka adalah Sahrul Gunawan dan Dina Lorenza di Pilkada Kabupaten Bandung, Lucky Hakim di Pilkada Kabupaten Indramayu, serta Adly Fairuz di Pilkada Kabupaten Karawang.
Baca Juga:Pemprov Klaim Tak Ada Lagi Desa TertinggalPurwakarta Punya Mal Pelayanan Publik
Itu menjadi masalah klise yang terus berulang dalam demokrasi di negeri ini, sekaligus autokritik bagi partai politik (parpol).
“Itu masalah klise yang terus berulang. Klise, sekaligus juga, menurut saya, merupakan pandangan mengotori penglihatan, karena tidak nyaman dilihat, tidak elok dilihat, dan tidak menumbuhkan harapan,” kata Karim Suryadi dilansir dari pikiran-rakyat.com, Minggu (23/8). Menurut dia, artis muncul sebagai calon di pilkada karena parpol defisit kader yang mengakar di masyarakat.
Sebagai wujud jalan pintas, kata dia, maka tidak banyak pilihan yang dapat diambil oleh parpol.
Di antaranya yakni dengan memilih artis atau orang-orang yang populer untuk dicalonkan.
“Karena kader yang mengakar kurang, maka partai menempuh jalan pintas, karena kan butuh popularitas. Popularitas (politisi) itu kan yang alami hanya bisa dimiliki oleh mereka yang mengakar, yang tumbuh dari dan bersama masyarakat, menangani urusan-urusan publik,” tuturnya.
Karim menilai, ada masalah kompleks dalam kaderisasi di tubuh parpol dalam menghadirkan tokoh politik yang mengakar.
Oleh karena itu, parpol cenderung lebih suka menempuh jalan pintas, sehingga bertemu dengan tabiat politisi yang muncul secara tiba-tiba. Termasuk dari kalangan artis.
Baca Juga:Wali Kota Bekasi Tolak Tutup Tempat HiburanGuru Dilarang Berikan Tugas Membebani Siswa
“Karena parpol tidak lagi peduli dengan latar belakang calon, tidak peduli dengan deposit politik yang dimiliki, tidak peduli dengan pengalaman jabatan, pengalaman keterlibatan menangani urusan publik. Yang penting dia punya popularitas yang memadai, punya modal yang cukup, ya sudah akan dicalonkan,” katanya.
Alih-alih melibatkan publik dalam sistem pencalonan di pilkada, Karim menambahkan, parpol pun justru menggantungkan pilihan pada pimpinan parpol.
