Seisi rumahnyi pun negatif. Kami tetap sehat sampai masa karantina selesai.
Kami ikut menarik nafas lega. Sampai 20 hari kemudian tetap juga sehat. Alhamdulillah.
Memang anak-anak saya berbeda pendapat. Setelah menerima info Covid di keluarga staf keuangan itu. Yang satu mengusulkan agar kami ramai-ramai tes. Yang satu berpendapat tidak usah –karantina saja. Kami diskusi panjang lewat WA. Putusan akhirnya bulat: karantina saja.
Waktu itu tes juga belum semudah sekarang.
Setelah masa karantina selesai cucu-cucu pun menjadi boleh ke rumah.
Khususnya tiap Sabtu sampai Minggu.
Ketika memasuki bulan Ramadan, kebiasaan berprotokol Covid sudah melekat. Kami merasa hidup normal –normal baru.
Tiap pagi tetap olahraga –olahraga Covid: pakai masker, cari yang bersinar matahari, dan jaga jarak. Termasuk di bulan puasa.
”Kok puasa-puasa olahraga satu jam?” tanya beberapa teman.
Jawab saya sama: saya ingat ayah saya. Yang di bulan puasa pun tetap ke sawah. Mencangkul. Sejak jam 6 sampai jam 10 pagi. Di bawah terik matahari. Dengan punggung telanjang.
Saya juga ingat waktu ayah pulang. Sambil memanggul cangkul di pundaknya. Betapa ayah saya itu terlihat lelah, haus, dan lapar. Lalu menggelar tikar di atas lantai –lantai rumah kami terbuat dari tanah.
Ayah pun tidur telentang di atas tikar itu. Tetap dengan celana ke sawah sampai di bawah lutut. Tanpa baju.
Saya lihat perutnya begitu kempes. Kulit perutnya seperti menempel di bagian dalam punggungnya. Begitu lelap tidurnya. Dengan kaki dan celana yang masih belepotan lumpur kering.
Ayah bangun ketika waktu zuhur tiba. Saat itulah baru cuci kaki. Lalu ganti celana dengan sarung. Ambil air wudu. Untuk salat zuhur.
Ayah lantas mengaji sampai asar tiba. Setelah salat asar ayah bersih-bersih pekarangan. Atau memperdalam parit dengan cangkul.
Olahraga saya di bulan puasa ini tidak ada artinya dibanding kerja keras ayah saya itu.
Setelah cucu-cucu boleh ke rumah, saya pun berpikir. Apa yang bisa saya lakukan dengan cucu-cucu itu.
Saya tawarkan untuk mengajari mereka Bahasa Mandarin. Mereka mau. Tentu kemampuan Bahasa Mandarin saya belum level untuk boleh mengajar. Tapi ini kan darurat.