Sepucuk Surat dari Sepeda

BEBERAPA hari lalu, ada kabar duka. Kawan kami, sepeda angin, yang dikendarai majikannya dilindas truk. Remuk. Berantakan. Sang pamajikan –si pengontel– pun turut jadi korban. Meninggal di tempat. Tragis.

Kejadian sore hari. Di jalan superpadat Cirebon-Sumber. Tepatnya di Desa Cempaka, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sepeda menjadi korban keganasan jalan raya, seperti itu sudah sering terjadi. Kami, memang selalu menjadi korban amukan truk, bus, pikap, angkot, elf, sedan, minibus, dan entah kendaraan roda empat yang lain.

Bahkan, kami paling sering dilabrak sepeda motor. Yang masih sama-sama roda roda dua. Kami pun selalu kalah. Yang mengenaskan jika ada kecelakaan, selalu kami yang disalahkan. Dari ungkapan kurang hati-hati, tidak disiplin, terlalu ke tengah, hingga dianggap ugal-ugalan. Begitu sedih hati kami. Ngenes.

Lihatlah profil kami. Tengoklah bentuk kami. Cermatilah kekuatan kami. Apakah kendaraan yang begitu ganas di jalanan? Apakah kami terlalu berbadan besar? Apakah kami bisa berkecepatan tinggi?

Kami hanyalah sepeda. Bisa jadi sepeda angin. Sepeda ontel. Bisa road bike (RB). Kami bisa jadi dari golongan Mountain Bike (MTB). Juga kami bernama sepeda lipat (seli). Atau kami kelompok yang namanya vixie. Dan masih banyak sebutan untuk kami.

Jumlah kami sangatlah sedikit. Dibanding kendaraan yang lain kami tak seberapa. Profil kami hanya rangkaian batangan yang dilengkapi roda ditambah setir. Bentuk kami paling mungil di jalan raya. Kekuatan kami hanya mengandalkan dengkul, napas, dan pantat pamajikan. Kecepatan kami hanya sekayuh dua kayuh. Tak merata. Tergantung siapa yang ada di atas sadel.

Lalu apakah kami memakan jalan dan ugal-ugalan? Tuduhan-tuduhan itu tak masuk akal. Semahal dan sebagus apapun, kami sangat tergantung kekuatan penggowesnya. Kami polos. Tidak memakai alat bantu. Tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM).Tak juga sengatan listrik. Karena itu tidak bisa digas. Tak mungkin melampui kecepatan mobil dan motor. Yang memakai alat bantu BBM atau listrik. Yang kecepatannya berkali-kali lipat kami.

Karena bentuk kami yang hanya segitu, di jalan raya kami hanya butuh jalur tak lebih 1 meter. Syukur diberi lebih. Sungguh leluasa. Bahkan di jalan sering mengalah. Jika sangat padat, kami pun rela turun ke jalan tanah. Yang kadang jelek. Kadang becek berlumpur. Kadang berbatu. Ban kami jadi taruhan. Pantat dan pinggang bos kami rela menjadi korban.

Tinggalkan Balasan