JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI meminta Bawaslu daerah berhati-hati dan terus menjaga kepercayaan publik di Pilkada Serentak 2020. Jika semua pelanggaran dibawa ke pengadilan, maka tidak akan selesai. Bawaslu perlu diposisikan sebagai wasit yang harus menjaga independensi. Salah satunya meningkatkan kapasitas dalam melakukan pengawasan dan penanganan pelanggaran.
Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin mengatakan, jika Bawaslu semakin independen, kepercayaan publik akan tinggi. Ia menyoroti soal soliditas antardivisi di dalam Bawaslu. Usia Bawaslu yang masih terbilang muda, soliditas antardivisi menjadi kunci penting dalam mencapai kesuksesan dalam menjaga keadilan pemilu. “Ini penting untuk memahami bahwa kalau diberi senjata untuk perang, tapi tidak bisa menggunakann percuma. Kewenangan yang luar biasa, tapi tidak bisa menafsirkan kewenangan digunakan sama saja,” kata Afif di Jakarta, Jumat (20/9).
Dia menegaskan, di mata publik yang disorot adalah kelembagaan secara keseluruhan dan bukan kinerja masing-masing divisi. Sehingga peningkatan kapasitas dan soliditas antardivisi menjadi ujung tombak penting dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Anggota Bawaslu lainnya, Ratna Dewi Petalolo menyinggung soal permasalahan penanganan pelanggaran yang berasal dari regulasi. Menurutnya, perlu membenahi aturan dengan norma dan pasal yang multitafsir. Sehingga bisa memberikan kepastian keadilan pemilu. “Karena yang namanya penanganan pelanggaran, yang berujung pada pemberian keadilan harus dilaksanakan secara konsisten. Tidak boleh ada penerapan norma dan pasal yang berbeda untuk kasus yang sama. Perlu ada petunjuk yang tegas,” terangnya.
Dewi mengungkapkan, penegakan hukum pemilu menjadi indikator penting dalam menjamin kualitas demokrasi. Meski demikian, menurutnya masih terdapat permasalahan dan kendala dalam penanganan pelanggaran pidana pemilu terutama yang berasal dari regulasi. Dia mencontohkan, permasalahan yang muncul seperti norma yang belum jelas sehingga menyebabkan multi tafsir dalam membuat keputusan dan berujung inkonsistensi pengaturan.
“Apalagi kita ketahui bersama UU nomor 10 tahun 2016 ini ada kelemahan terhadap Bawaslu di dalam melakukan penanganan pelanggaran. Pertama soal eksistensi Sentra Gakkumdu dan waktu penanganan yang hanya tiga ditambah dua hari. Tentu akan mengurangi kualitas penanganan pelanggaran kita. Apalagi dalam proses pembuktian. Tentu tidak mudah jika waktunya terbatas,” tandasnya. (khf/fin/rh)