INI kejutan. Juga bukan. Tiba-tiba saja Presiden Donald Trump unggah twitter. Selasa lalu: segera mengenakan tarif tambahan. Dari 10 persen ke 25 persen. Untuk barang Tiongkok. Yang masuk Amerika. Senilai 200 miliar dolar.
Bukan kejutan karena sudah biasa Trump belok tidak di tikungan seperti itu. Kejutan karena twitter itu hanya sehari sebelum keberangkatan Wakil Perdana Menteri Tiongkok, Liu He, ke Washington. Untuk perundingan terakhir. Menjelang disepakatinya pengakhiran perang dagang kedua negara.
Lalu untuk apa berangkat? Bukankah bunyi twitter itu sama dengan tidak ada gunanya perundingan?
Liu He ternyata memang tidak jadi berangkat hari itu. Lalu dipikir ulang. Tidak boleh ikut emosi. Akhirnya berangkat juga. Tertunda satu hari. Toh masih sempat. Jadwal perundingannya dimulai hari Kamis ini. Sampai Jumat besok. Pas saja. Dari bandara langsung ke meja perundingan.
Hanya saja muncul pertanyaan: jadi atau tidak. Perundingan kali ini final. Semua sepakat. Seperti yang rumusannya sudah dibuat dalam 12 kali perundingan selama ini.
Tidak jadi pun tidak apa-apa. Liu He sudah beli tiket pulang. Jumat malam. Ia sengaja memperpendek kedatangannya kali ini. Berangkat lebih lambat. Pulang lebih cepat. Sebagai respons atas twitter Trump itu.
Siapa tahu Jumat pagi ada twitter baru dari Trump. Apa pun isinya. Tiongkok sudah lebih siap menerima kenyataan baru: tidak bisa melunakkan hati Trump.
Bocoran yang mengalir ke media: Amerika menghendaki Tiongkok mengubah beberapa UU negaranya. Tiongkok berkeras tidak mau.
Amerika menganggap Tiongkok tidak serius dalam melakukan perubahan. Agar negara itu lebih terbuka. Terutama di bidang perdagangan, investasi, teknologi, hak paten dan moneter. Tiongkok sudah menyanggupi. Hanya saja bertahap. Agar tidak mengguncang stabilitas negara.
Bocoran lain: Amerika menghendaki tidak ada lagi subsidi negara untuk BUMN Tiongkok. Terutama yang terkait dengan program Made In China 2025. Yang, kasarnya, apa pun sudah bisa dibuat Tiongkok di tahun itu. Sudah tidak perlu lagi Amerika.